Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (Anggota PCM Pandeglang)
Fenomena Brain Drain adalah sebuah proses dimana bakat dan keterampilan (termasuk kecerdasan) terbaik yang dimikili oleh SDM negara berkembang pergi meninggalkan negaranya menuju negara-negara maju sehingga memperkuat posisi ekonomi negara-negara maju. Fenomena ini membuat negara kaya bertambah kaya, sementara negara miskin tetap berada dalam kemiskinan.
Dalam menentukan negara mana yang dianggap maju, lembaga-lembaga seperti IMF menggunakan beberapa kriteria, seperti PDB per kapita yang biasanya di atas $20.000 per tahun, industri teknis yang maju, sistem pasar yang teratur dan adil, serta skor tinggi pada indeks pembangunan manusia. Namun, klasifikasi ini tidak mutlak, dan IMF adalah satu-satunya lembaga yang secara spesifik membedakan negara-negara sebagai negara maju, berkembang, atau berpendapatan rendah, memberikan penilaian berdasarkan gabungan faktor-faktor ini.
Bagi banyak ekonom, perekonomian maju adalah sesuatu yang langsung bisa dikenali begitu melihatnya, meskipun tidak selalu mudah didefinisikan secara jelas. Memahami apa yang membuat sebuah negara maju dapat membantu kita memahami tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam mencapai status tersebut. Salah satu penghalang terbesar dalam hal ini adalah fenomena yang disebut Brain Drain.
Brain Drain terjadi ketika orang-orang terdidik dan produktif di sebuah negara meninggalkan tanah air mereka untuk mencari peluang yang lebih baik di negara lain. Banyak faktor yang mendorong langkah ini, mulai dari bayaran yang lebih tinggi, gaya hidup yang lebih baik, hingga kebutuhan untuk menghindari kekerasan, korupsi, atau penganiayaan di negara asal mereka. Sebagian besar orang berbakat dari negara-negara berkembang memilih pindah ke negara-negara maju yang secara umum lebih stabil, lebih aman, dan menawarkan kesempatan yang lebih baik.
Sebagai contoh, seorang insinyur di India yang berpenghasilan sekitar 800 ribu rupee per tahun (sekitar 148 juta rupiah) mungkin menganggap itu sebagai gaji yang layak atau bahkan tinggi di India. Namun, jika insinyur ini berkesempatan bekerja di Amerika Serikat, ia berpotensi meraih pendapatan sepuluh kali lipat atau lebih. Gaji insinyur terendah di Amerika Serikat di angka 70 ribu dolar AS per tahun (sekitar 1,1 milyar rupiah). Meskipun tidak lepas dari berbagai masalah, namun AS menawarkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan tingkat polusi yang lebih rendah dan peluang kerja yang lebih baik. Tidak mengherankan jika banyak orang dari India, serta negara-negara berkembang lainnya, akan memilih untuk pindah.
Namun, bagi negara asalnya, kehilangan pekerja produktif seperti ini adalah kerugian besar. Para profesional yang meninggalkan negara mereka biasanya adalah para pembayar pajak terbesar, penyumbang nilai ekonomi tertinggi, dan memiliki potensi terbesar untuk berinovasi. Keberadaan mereka bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkaya negara asalnya. Kehilangan mereka berarti negara juga kehilangan potensi sumber daya manusia yang sangat berharga.
Secara makro, negara-negara berpenghasilan tinggi justru mendapatkan manfaat besar dari fenomena Brain Drain ini. Mereka bisa menerima pekerja terampil dari berbagai negara yang datang dan mengisi kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor. Negara maju yang menerima tenaga kerja muda dan terampil dari luar negeri, sementara negara berkembang kehilangan inovator-inovator terbaik mereka. Negara-negara maju bahkan memiliki kendali besar untuk menentukan berapa banyak tenaga kerja terampil yang akan mereka terima dengan menyesuaikan kuota visa sesuai kebutuhan mereka. Para imigran terampil ini tidak hanya mengisi kebutuhan tenaga kerja, tetapi juga membawa stimulus ekonomi yang berkelanjutan—mulai dari membeli rumah, mobil, hingga berbagai kebutuhan lainnya di negara tuan rumah.
Bagi negara berkembang yang kehilangan para tenaga kerja terdidik, masalah Brain Drain ini menjadi penghambat serius bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi domestik mereka. Beberapa negara mencoba memperbaiki kondisi ini dengan investasi besar pada industri strategis, seperti yang dilakukan Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Negara-negara ini sukses mengembangkan industri yang maju secara teknologi dengan dukungan pemerintah dan insentif bagi warganya agar tidak perlu pindah ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik.
Di sisi lain, mengatasi brain drain dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik di negara asal membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen yang besar. Meningkatkan keamanan, memberantas korupsi, dan menyediakan layanan publik yang memadai adalah langkah-langkah penting untuk membuat orang ingin tinggal di negara mereka sendiri. Langkah-langkah ini memang bukan hal yang mudah dilakukan, namun dengan pendekatan ini, negara-negara berkembang bisa berharap untuk menciptakan iklim yang lebih baik bagi warganya dan mengurangi Brain Drain.
Pada akhirnya, fenomena Brain Drain menyoroti betapa pentingnya sumber daya manusia dan bagaimana setiap negara perlu mempertimbangkan cara untuk mempertahankan warga terampilnya, yang merupakan aset paling berharga bagi kemajuan dan daya saing ekonomi. Jika mereka yang pintar, kreatif, dan terampil ini disia-siakan oleh negara asalnya, maka jangan salahkan mereka jika mereka memilih hidup “layak” di negeri orang lain.