Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (Anggota PCM Pandeglang)

Setelah Perang Dunia II, Jepang berada di titik nadir, kehilangan harapan dan kedaulatan. Kota Hiroshima dan Nagasaki hancur oleh bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat pada Agustus 1945, dan rakyat Jepang hidup dalam ketakutan akan masa depan yang kelam. Perang berakhir dengan kekalahan Jepang, dan untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, negeri ini diduduki oleh kekuatan asing—terutama tentara Amerika Serikat. Selama hampir tujuh tahun, Jepang berada dalam masa pendudukan ini, mengubah banyak hal dalam budaya dan lembaga negara tersebut. Namun, takdir Jepang berubah ketika terjadi Perang Korea pada tahun 1950, yang menjadi momentum tak terduga bagi kebangkitan ekonomi mereka.
Ketika tentara Korea Utara menyerbu Korea Selatan, Amerika Serikat segera turun tangan untuk mendukung sekutu mereka di selatan, dan Jepang yang masih dalam proses pemulihan pascaperang ikut serta dalam upaya logistik. Jepang kemudian diminta untuk memasok amunisi dan perbekalan lain yang dibutuhkan oleh pasukan Amerika di Korea, sebuah langkah yang pada akhirnya mempercepat reintegrasi Jepang ke dalam ekonomi global dan mempererat hubungannya dengan blok Barat. Meski demikian, tidak semua rakyat Jepang mendukung kehadiran pasukan Amerika. Gerakan protes anti-Amerika, terutama di kalangan mahasiswa dan serikat pekerja, bergejolak di Jepang pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an. Mereka menuntut agar Jepang menjauh dari aliansi yang dianggap mengikat Jepang pada konflik global yang tidak diinginkan.
Di balik gejolak sosial tersebut, para pemimpin Jepang melihat peluang besar di sektor ekonomi. Perdana Menteri Hayato Ikeda, seorang teknokrat pragmatis, mengambil alih kendali dan meluncurkan rencana “Penggandaan Pendapatan.” Ia berjanji akan melipatgandakan pendapatan Jepang dalam waktu sepuluh tahun dengan berfokus pada inovasi teknologi, investasi di industri utama, dan memperluas ekspor. Ikeda dan pemerintahnya memanfaatkan lembaga pemerintah yang sangat kuat, Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (Ministry of International Trade and Industry – MITI), yang didirikan pada tahun 1949, sebagai alat utama untuk mengkoordinasikan kebijakan ekonomi Jepang. MITI berperan besar dalam memfasilitasi kolaborasi antara sektor industri dan perbankan, mempromosikan sektor manufaktur Jepang untuk tumbuh pesat dan menguasai pasar dunia.
Salah satu strategi kunci MITI adalah menjaga nilai tukar yen tetap rendah, sehingga harga barang ekspor Jepang menjadi kompetitif di pasar global. Selain itu, MITI mendorong terbentuknya kelompok konglomerat besar yang dikenal sebagai keiretsu, yang menjadi tulang punggung industrialisasi Jepang. Konglomerat-konglomerat ini terdiri dari berbagai perusahaan yang saling terkait baik secara horisontal, seperti Mitsubishi, yang memiliki kepentingan di banyak sektor (otomotif, kimia, elektronik, dan bahkan tenaga nuklir), maupun vertikal, seperti Toyota, yang mencakup rantai pasokan dari pemasok bahan baku hingga distribusi produk jadi.
Berbekal perencanaan ekonomi yang terstruktur ini, Jepang berhasil pulih dan tumbuh pesat di tengah persaingan internasional. Pada 1980, Jepang memiliki 32 dari 50 perusahaan terbesar di dunia, dan produk-produk elektroniknya menjadi pemimpin global. Namun, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 1990-an, ekonomi Jepang mulai stagnan, ditandai dengan menurunnya angka kelahiran dan populasi yang menua. Perlahan tapi pasti, sektor-sektor utama seperti elektronik konsumen yang dulunya mendominasi mulai kehilangan daya saing, tergerus oleh negara-negara seperti Korea Selatan dan China.
Hari ini, dengan ekonomi yang tertatih-tatih dan populasi yang menyusut, banyak pihak bertanya-tanya apakah Jepang mampu kembali bangkit dan menyesuaikan diri dalam lanskap global yang berubah cepat. Meski demikian, perjalanan Jepang dari reruntuhan perang menuju “Keajaiban Ekonomi” memberikan pelajaran berharga tentang ketahanan, inovasi, dan kemampuan untuk bangkit kembali.
Pada masa awal industrialisasi, Jepang memulai pembangunan ekonominya dengan fokus pada sektor-sektor strategis seperti pembuatan kapal, produksi baja, pertambangan batu bara, dan manufaktur kimia. Inisiatif besar ini, yang dikenal sebagai ketsu, menjadi salah satu landasan dari keajaiban ekonomi Jepang. Para pemimpin bisnis dan pemerintahan Jepang sadar bahwa agar Jepang menjadi negara yang kompetitif, perlu diarahkan pada tujuan ini dengan penuh dedikasi.
Di bidang elektronik, Jepang sudah memiliki pengalaman awal dalam teknologi transistor, salah satu teknologi terpenting di era awal elektronika. Masaru Ibuka, pendiri Sony, segera mengambil langkah inovatif dengan memanfaatkan transistor yang baru saja dilisensikan oleh AT&T. Ibuka melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mencari inspirasi produk yang bisa memanfaatkan transistor ini, dan ia memutuskan bahwa aplikasi terbaik adalah radio. Pada tahun 1955, Sony merilis TR-55, radio komersial pertama yang menggunakan transistor di Jepang. Hanya dua tahun kemudian, Sony merilis TR-63, sebuah radio yang lebih kecil, hemat daya, dan menghasilkan suara lebih baik daripada pesaingnya. Keberhasilan TR-63 membuka pasar ekspor pertama untuk radio transistor Jepang.
TR-63 sangat sukses sehingga permintaan melebihi pasokan; bahkan, Japan Airlines harus menyediakan layanan kargo khusus untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar. Di samping teknologi unggulannya, Sony juga memenangkan persaingan berkat strategi pemasaran cerdas. Ketika Sony menyadari bahwa TR-63 terlalu besar untuk saku baju biasa, Akio Morita, co-founder Sony, memesan kemeja khusus dengan saku yang lebih besar untuk para penjual. TR-63 akhirnya terjual lebih dari satu juta unit dan membuka jalan bagi Sony untuk masuk ke pasar Amerika Serikat, pasar terbesar dan paling menguntungkan di dunia.
Kesuksesan TR-63 menjadi inspirasi bagi perusahaan Jepang lainnya seperti Toshiba untuk meningkatkan produksi radio transistor. Pada tahun 1959, Hayato Ikeda, seorang pemimpin politik Jepang, mengumumkan rencana penggandaan pendapatan nasional, yang mensyaratkan pertumbuhan PDB sekitar 7,2% per tahun. Namun, Jepang berhasil mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% selama dekade 1960-an, yang membawa negeri itu menuju kemakmuran luar biasa.
Rencana penggandaan pendapatan ini merupakan pencapaian besar yang didukung oleh koordinasi intens antara pemerintah, produsen, pemasok, distributor, dan bank dalam struktur ketsu. Model ekonomi Jepang yang berbasis pada ekspor produk berkualitas tinggi dan berbiaya rendah ini menjadi cetak biru bagi negara-negara yang ingin mengembangkan ekonominya, seperti Korea Selatan, China, dan Taiwan.
Di balik keberhasilan ini terdapat kontribusi penting dari seorang ahli statistik asal Amerika, William Edwards Deming. Deming percaya bahwa kualitas produk bisa ditingkatkan dengan mengontrol proses produksi sejak awal, bukan sekadar memeriksa produk setelah selesai. Saat sebagian besar produsen di Amerika mengabaikan pandangannya, Deming justru menemukan audiens yang antusias di Jepang. Pada tahun 1950-an, ia melatih ratusan insinyur, industrialis, dan manajer Jepang tentang konsep pengendalian kualitas. Pesannya yang sederhana namun revolusioner—bahwa peningkatan kualitas akan mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas—mendapat sambutan hangat di Jepang, yang pada saat itu bertekad untuk menjadi eksportir produk berkualitas tinggi.
Jepang mengadopsi konsep-konsep Deming dengan penuh semangat, dan pada tahun 1960, Deming dianugerahi penghargaan Order of the Sacred Treasure oleh pemerintah Jepang atas kontribusinya. Ide-ide Deming menyatu dengan semangat tradisi Jepang dalam seni kerajinan, atau mono zukuri(filsafat produksi dalam budaya Jepang), yang melambangkan pencarian kesempurnaan terus-menerus. Inovasi terpenting Jepang bukan hanya pada produk-produk individual, tetapi juga dalam proses produksinya. Metode lean manufacturing(produksi ramping yang mengurangi pemborosan) dan just-in-time(tepat pada waktunya), yang dikembangkan oleh Toyota, mencerminkan keseriusan Jepang dalam menyempurnakan proses produksi.
Pemerintah Jepang turut mendorong kolaborasi antara perusahaan teknologi terbesar mereka, seperti Fujitsu, NEC, dan Toshiba, untuk menghadapi persaingan dengan IBM di sektor komputer. Dengan dukungan kementerian perdagangan, perusahaan-perusahaan ini bersatu untuk memperkuat industri komputer dalam negeri agar dapat bertahan dari tekanan produk-produk IBM yang terus berkembang.Dengan menggabungkan disiplin ekonomi, keinginan untuk berinovasi, dan kesediaan untuk belajar dari ide-ide luar, Jepang berhasil mewujudkan keajaiban ekonominya yang menginspirasi dunia.
Dampaknya menghantam seperti gelombang besar. Di tengah arus besar perubahan teknologi, Jepang berdiri di ambang sebuah revolusi. Salah satu pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa menekankan betapa banyaknya komputer yang mulai menguasai Jepang, dan ini menunjukkan bahwa Jepang harus berubah atau mati. Pemerintah Jepang pun turun tangan dan menciptakan laboratorium riset R&D untuk mengatasi tantangan besar ini, fokusnya adalah pada pengembangan teknologi canggih yang dikenal sebagai VLSI (Very Large Scale Integration), sebuah teknologi mikroprosesor yang terintegrasi dengan skala besar. Para perusahaan Jepang, termasuk perusahaan besar yang disebut ‘ketsu‘ di Jepang, diberi dukungan melalui subsidi, akses ke talenta terbaik, dan modal yang memadai, semuanya untuk membantu mereka melawan tantangan teknis yang besar tersebut.
Hasil dari proyek ini tidak sia-sia. Selama empat tahun, Jepang akhirnya berhasil menyusul Amerika Serikat dalam industri semikonduktor. Pada tahun 1982, hanya dua tahun setelah proyek ini selesai, perusahaan-perusahaan Jepang memproduksi lebih banyak DRAM (Dynamic Random Access Memory) chip dibandingkan perusahaan Amerika. Mereka berinvestasi besar-besaran pada penelitian dan pengembangan, dan pada tahun 1987, pangsa pasar global semikonduktor Jepang mencapai 35%, naik drastis dari hanya 10% pada tahun 1970-an. Perekonomian Jepang seakan bangkit dari reruntuhan, dan pada saat itu, Jepang menjadi salah satu konsumen semikonduktor terbesar di dunia, yang dipasang dalam mobil, kamera, komputer, serta produk-produk teknologi tinggi lainnya. Ini adalah contoh bagaimana keajaiban ekonomi Jepang terjadi. Namun, tidak semua orang senang dengan kejayaan ini.
Di Amerika Serikat, sentimen anti-Jepang meningkat tajam sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an. Bagi sebagian kalangan, terutama di industri otomotif, Jepang dianggap sebagai ancaman besar. Produsen mobil Amerika seperti Ford, Chrysler, dan General Motors merasa khawatir saat konsumen mulai beralih ke mobil Jepang yang lebih murah dan hemat bahan bakar. Banyak simbol kebanggaan Amerika, seperti Columbia Records dan Rockefeller Center, yang dijual ke perusahaan Jepang, dan ini memperkuat anggapan bahwa Jepang semakin mendominasi AS.
Di balik kesuksesan Jepang, ada kebijakan perdagangan yang agresif, seperti praktik dumping atau menjual produk di luar negeri dengan harga yang sangat rendah. Pada tahun 1985, defisit perdagangan AS dengan Jepang mencapai sekitar $50 miliar. Perusahaan Jepang seperti Toshiba bahkan pernah dituduh menjual produk ilegal ke Uni Soviet, yang memicu amarah di AS hingga terjadi insiden penghancuran produk Toshiba oleh anggota Kongres di Capitol Hill.
Namun, puncak kejayaan Jepang ternyata menjadi awal dari kemunduran. Pada tahun 1985, Menteri Keuangan dan Bankir Sentral dari kelompok G5 sepakat untuk melemahkan dolar AS melalui Plaza Accord, yang menyebabkan yen Jepang naik sebesar 30% dalam setahun. Harga ekspor Jepang ke AS pun merosot, mengancam ekonomi Jepang. Untuk menghindari resesi, bank-bank Jepang memangkas suku bunga, yang memicu lonjakan harga aset seperti tanah dan saham. Tanah di Tokyo mengalami kenaikan harga yang fantastis, hingga pada puncaknya, tanah Istana Kekaisaran di Tokyo dinilai lebih tinggi dari seluruh real estat di California. Bubble ekonomi pun terbentuk, dan ketika harga aset mulai jatuh pada tahun 1990, Nikkei merosot lebih dari 35%.
Jepang kemudian menghadapi apa yang disebut sebagai “Dekade yang Hilang,” sebuah periode stagnasi ekonomi yang panjang, yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan untuk terus maju. Negara-negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan dan Taiwan, mengambil alih dominasi Jepang di beberapa industri. Korea Selatan muncul dengan konglomerat besar seperti Hyundai dan Samsung, sedangkan Taiwan menjadi pusat produksi semikonduktor berkat perusahaan seperti TSMC.
Selain masalah ekonomi, budaya Jepang juga turut menjadi penghalang kemajuan. Budaya kerja yang kaku dan berorientasi pada proses di Jepang lebih mengutamakan kesesuaian dan tradisi dibandingkan inovasi dan efisiensi. Dalam dunia yang semakin digital, Jepang gagal beradaptasi, terjebak dalam praktik-praktik lama yang bahkan membuat mereka tetap menggunakan floppy disk untuk beberapa aplikasi pemerintahan. Jepang yang dulu menjadi pelopor di bidang perangkat keras, kini tertinggal dalam inovasi perangkat lunak.
Lebih jauh lagi, krisis demografi Jepang semakin memperburuk keadaan. Generasi Baby Boomer yang menua tidak cukup digantikan oleh generasi muda. Jumlah penduduk usia kerja menurun, dan dengan kebijakan imigrasi yang ketat, Jepang menghadapi masa depan yang suram. Diperkirakan, populasi Jepang akan menyusut menjadi sekitar 97 juta pada pertengahan abad ini.
Pada akhirnya, kisah kebangkitan dan kejatuhan ekonomi Jepang adalah pelajaran penting bagi dunia. Keberhasilan Jepang dalam era teknologi dan inovasi besar seakan menciptakan sebuah keajaiban ekonomi, namun di sisi lain, kegagalan mereka dalam beradaptasi dengan perubahan zaman menjadi penyebab stagnasi yang panjang. Jepang tetap berdiri sebagai bangsa yang tangguh dengan budaya yang kaya, tetapi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, mereka harus mampu membuka diri terhadap perubahan dan ide-ide baru.
Di akhir tahun 1980-an, tepatnya pada 1989, Jepang berada di puncak kejayaan ekonominya. Saat itu, 32 dari 50 perusahaan terbesar di dunia adalah perusahaan Jepang. Angka ini masih menjadi ukuran kuat dari dominasi ekonomi negara tersebut pada masa itu. Sayangnya, pada tahun 2018, hanya satu perusahaan Jepang yang bertahan dalam daftar yang sama, yaitu Toyota. Keajaiban ekonomi yang pernah dicapai Jepang seolah berakhir di tengah Zaman Kegelapan ekonomi yang terus berlanjut.
Kini, untuk bangkit kembali, Jepang perlu lebih terbuka pada ide-ide dan orang-orang baru yang dapat membawa perspektif segar. Mereka perlu menyesuaikan budaya yang telah memberikan stabilitas selama berabad-abad, agar dapat menginspirasi kemajuan di masa depan. Jika Jepang mampu melakukan itu, maka mungkin, masa lalu yang gemilang akan menjadi fondasi untuk masa depan yang tak kalah cemerlang.
*Tulisan ini adalah ringkasan dari video berjudul Japan’s Crumbling Economy is Collapsing, Bankrupt Soon pada kanal YouTube Business Basics.