Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (Anggota PCM Pandeglang)
Semua orang di dunia pasti mengalami kesedihan dan rasa sakit secara emosi. Hanya ada dua jenis orang yang tidak mengalami hal itu yakni seorang psikopat dan seorang yang sudah mati. Hidup bahagia bukan berarti kita tidak pernah sama sekali bersedih maupun sakit hati. Hidup bahagia juga bukan berarti harus diisi dengan kesenangan terus menerus. Mampu merasakan pahit dan getirnya hidup juga salah satu bagian dari hidup bahagia. Lantas apa yang dimaksud dengan hidup bahagia itu?
Pada kajian ilmu psikologi dikenal dua istilah yang berlawanan yaitu PTG (Post-Traumatic Growth) dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). PTG berkaitan dengan tumbuh lebih kuat setelah mengalami stress. Sedangkan PTSD berkaitan dengan kehancuran kondisi mental setelah menerima stress. Dengan jenis dan kadar stres yang sama, seseorang bisa mengalami PTSD dan orang yang berbeda bisa mengalami PTG.
Mengapa bisa demikian?
Jawabannya adalah pada resiliensi atau kemampuan seseorang untuk menghadapi, mengatasi, dan bangkit kembali dari situasi sulit, tekanan, atau tantangan hidup. Masing-masing individu memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-beda. Tentu saja banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Beberapa faktor yang sudah diketahui melalui penelitian yang menyebabkan resiliensi masing-masing individu berbeda-beda diantaranya:
- Pengaruh Genetik: Terdapat gen tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hormon stres (seperti kortisol) dapat membuat individu lebih atau kurang rentan terhadap stres dibandingkan individu yang lain.
- Bentuk Otak:Struktur dan fungsi otak, khususnya di area seperti amigdala dan korteks prefrontal, dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap stres.
- Pengalaman Masa Kecil:Pengalaman masa kecil yang positif, seperti tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan dukungan, dapat meningkatkan resiliensi. Sebaliknya, trauma atau pengabaian di masa kecil dapat mengurangi kemampuan resiliensi seseorang.
- Pengalaman Mengatasi Kesulitan:Seseorang yang telah menghadapi dan berhasil mengatasi tantangan sebelumnya lebih cenderung memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi karena telah belajar strategi koping yang efektif.
- Sikap Diri yang Dibangun:Individu yang cenderung optimis dan mampu melihat sisi baik dalam situasi sulit biasanya lebih resilen. Optimisme memengaruhi cara seseorang memproses informasi dan menyikapi masalah.
- Hubungan yang Kuat:Orang yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, seperti keluarga, teman, dan komunitas, cenderung lebih resilen karena mereka memiliki tempat untuk berbagi dan mendapatkan bantuan ketika menghadapi masalah.
Dengan kata lain, orang yang memiliki hidup bahagia bukanlah orang yang tidak pernah sedih atau merasa tersakiti oleh keadaan eksternalnya. Orang yang bahagia adalah orang yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi sehingga siap dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang ada di dalam hidupnya.Dan hidup bahagia juga bukanlah hidup untuk selalu mengejar kesenangan, melainkan senantiasa meningkatkan tingkat resiliensi pada diri kita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Iris Mauss dan lainnya menunjukkan bahwa orang yang terlalu mengejar kesenangan justru cenderung menjadi kurang bahagia dan bahkan lebih rentan mengalami depresi. Inilah yang dikenal luas dengan istilah paradoks kebahagiaan.
Lalu bagaimana cara kita melatih tingkat resiliensi kita?
Para peneliti ilmu kebahagiaan mengajukan sebuah model yang disebut dengan SPIRE (Spiritual, Physical, Intellectial, Relational, and Emotional). Berikut adalah cara penggunaan model ini:
- Spiritual: Seseorang yang memiliki tujuan dan makna hidup terbukti memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Oleh karenanya, selalu menggali apa sebenarnya tujuan dan makna hidup kita akan semakin mengokohkan tingkat resiliensi kita. Biasanya kita mencari bantuan melalui konteks agama.
- Physical: Fisik yang tidak diberikan haknya seperti tidur yang cukup, makanan bergizi, dan olahraga teratur tentu saja memiliki tingkat resiliensi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidur secara cukup, mengasup makanan bergizi, dan olahraga teratur.
- Intellectual: Orang yang senantiasa mengasah tingkat kecerdasannya baik itu dengan membaca buku atau menekuni suatu seni terbukti memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak melakukan keduanya.
- Relational: Orang yang memiliki hubungan hangat dengan keluarganya, saudaranya, orang tuanya, teman-teman, dan lingkungan sosialnya memiliki tingkat resiliensi yang cukup tinggi ketika terkena masalah yang berat. Menjaga hubungan tetap hangat dengan orang-orang di sekitar kita adalah salah satu cara untuk meningkatkan tingkat resiliensi.
- Emotional: Cicero mengatakan bahwa rasa syukur adalah ibu dari semua kebajikan. Untuk melatih otot emosi kita yang perlu dilakukan adalah berlatih untuk senantiasa bersyukur. Bersyukur tidaklah dimulai dengan hal-hal besar atau fenomenal. Bersyukur dimulai dari hal-hal kecil yang mungkin dianggap orang lain sangatlah remeh.
Ini adalah keseluruhan dari kelima elemen yang bersama-sama membangun kebahagiaan hidup. Kebahagiaan bukanlah titik, kebahagiaan adalah sebuah garis naik turun dan ketika turun mampu naik lagi begitu seterusnya. Dengan memahami hal ini, kita dapat memiliki ekspektasi yang realistis dan tidak mengharapkan kesempurnaan. Meskipun tidak semua hal akan berjalan sempurna, kita dapat belajar untuk membuat yang terbaik dari apa yang terjadi.
*Tulisan ini terinspirasi oleh video Tal Ben-Shahar yang berjudul Don’t chase happiness. Become antifragilepada kanal YouTube Big Think.
Masya Alloh Ajib saya ikut bahagia meskipun sedih juga karena masih jauhnya pengetahuan ana.
MAri sama sama belajar