Oleh : Nasyaruddin, S.Si.,MPA (Anggota PDM Kabupaten Pandeglang)

Setiap bulan-bulan tertentu di daerah penulis sering terdapat kemacetan panjang terutama dengan hadirnya banyak bus dari berbagai wilayah dari luar Kabupaten Pandeglang ke beberapa tempat yang dianggap sebagai lokasi “wisata Relijius”. Terkadang ada spanduk bertuliskan asal jamaah dan tujuannya di depan atau dismaping badan bus.
Pernah juga beberapa jamaah di wilayah penulis juga berangkat ke luar Kabupaten Pandeglang untuk melakukan wisata relijius ke beberapa tempat di pulau jawa terutama ke wilayah “Wali Songo”. Hampir kebanyakan jamaah berusia sudah agak tua. Kadang penulis pernah bertanya bagaimana kesannya mengikuti kegiatan wisata relijius dari satu kota ke kota lainnya? Jawabannya cukup menarik yakni selain hiburan tetapi juga menambah pengetahuan mengenai tradisi di wilayah tersebut.
“Ternyata makanan di Kudus begitu loh. Beda sedikit rasanya dengan makanan di Jawa Timur”. Begitu juga respon jamaah mengenai logat, suara, karakter masyarakat, harga barang atau oleh-oleh dan sebagainya yang terlihat berbeda bagi beberapa jamaah yang baru pertama kali datang ke Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagainya. Jawaban tersebut menjadikan ingatan penulis saat kuliah di Kota Yogyakarta dengan berbagai mahasiswa dari berbagai wilayah di nusantara.
Beberapa jamaah yang sudah mengikuti wisata reliji tersebut sebagian besar senang bahkan ingin ikut lagi jika ada kesempatan. Penulis pernah mewawancarai beberapa penduduk yang bermukim didekat wisata reliji tersebut. Menurut mereka, kegiatan tersebut sangat membantu perekonomian penduduk sekitar. Namun ada timbal balik dari kegiatan wisata reliji dari jamaah luar kota tersebut. Timbal baliknya adalah jamaah di wilayah tersebut bergantian melaksanakan kunjungan wisata reliji ke wilayah lainnya. Misalkan jamaah dari Tasikmalaya berkunjung ke Pandeglang maka nanti ada kunjungan balasan dari jamaah Pandeglang ke Tasikmalaya.
Bagaimana tanggapan jamaah Muhammadiyah mengenai konsep wisata reliji saling berkunjung antar wilayah? Misalkan warga Muhammadiyah dari Pandeglang melakukan wisata reliji dengan mengunjungi beberapa wilayah Muhammadiyah yang lebih awal dan lebih maju. Misalkan rute Jakarta-Pekalongan-Semarang-Surakarta-Surabaya-Malang-Ponorogo-Yogyakarta-Cilacap-Tasikmalaya-Garut-Bogor-Sukabumi-Pandeglang. Dari rute tersebut bisa jadi banyak jamaah Muhammadiyah dari Pandeglang yang sampai usia pensiun belum pernah ke Yogyakarta. Atau bisa jadi banyak juga warga Muhammadiyah Yogyakarta tidak pernah tahu lokasi dan kondisi Kampung Kubangkondang di Kabupaten Pandeglang sebagai salah satu Cabang tertua Muhammadiyah di Banten.
Transfer pengetahuan, budaya, pengetahuan, mendengar ceramah dari ulama Muhammadiyah di berbagai Kota merupakan wisata reliji yang baik untuk dilaksanakan. Dimungkinkan terdapat nilai tambah secara ekonomi dari berbagai jamaah yang sekedar membeli oleh-oleh yang dijual oleh warga atau amal usaha Muhammadiyah. Bagaimana jamaah Muhammadiyah Pandeglang merasakan jenang asli yang dijual oleh PDM Kudus, bagaimana rasanya kue balok khas Pandeglang yang dijual PDM Pandeglang. Bagaimana rasanya menginap di Kampung Kubangkondang di Pandeglang oleh jamaah Muhammadiyah Kota Surabaya dan berbagai pengalaman lainnya.
Mungkin saja usaha travel warga atau amal usaha Muhammadiyah semakin berkembang. Mudah-mudahan di Kampung Kubangkondang berdiri beberapa penginapan dan hotel tidak kalah dengan Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memiliki hotel. Bagaimana kenyamanan hotel Suara Muhammadiyah Yogyakarta menurut pengalaman jamaah wisata reliji dari Pandeglang.
Penulis menggagas wisata reliji tersebut salah satunya adalah pengalaman penulis saat mewawancarai beberapa anggota Jamaah Tabligh yang kebetulan sedang “bertugas/berdakwah” di Kabupaten Pandeglang. Mayoritas mereka adalah pensiunan dan butuh hal-hal baru yang bisa melepaskan situasi psikologis mereka dari kebosanan dan kebuntuan. Menurut mereka berdakwah sambil berwisata sangat menyenangkan. Penulis semakin tertarik dengan kegiatan wisata relijius bagi warga Muhammadiyah terutama bagi mereka yang sudah memasuki usia pensiun.
Sampai saat ini penulis hanya tahu penugasan perwakilan pimpinan Daerah jika ada undangan dari PWM atau Pimpinan Pusat. Penulis belum mendengar warga Muhammadiyah yang sengaja mengajak jamaah lain untuk melaksanakan rihlah atau wisata reliji ke Yogyakarta-Surakarta-Malang. Jikapun ada kemungkinan menggunakan jasa travel dari perusahaan lain. Padahal wisata reliji adalah peluang besar untuk berbagi banyak hal. Gagasan wisata relijius ini mesti ditangkap oleh Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) dari tingkat Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah sampai dengan Pengurus Cabang hingga Ranting. Bagaimana caranya agar warga Muhammadiyah dapat bergotong-royong secara bersama-sama meningkatkan perekonomian bagi warga dan amal usahanya.
Sangat menginsprirasi dan Mencerahkan untuk warga Muhammadiyah untuk terlibat dalam bisnis wisata religi sesuai dengan paham Muhammadiyah
Mari sama sama membangun dan saling mencerahkan