Agus Nurcholis Saleh, Pandeglang
SUATU hari, secara sengaja menuliskan kilometer dan waktu untuk perjalanan tugas dari Kadulogak menuju Kubangkondang. Terlintas oleh pikiran, masa sih tidak ada karya yang dihasilkan atas hilir-mudik keseharian. Sayang sekali dengan waktu yang ‘dihabiskan.’ Oleh karena akan hadir pertanyaan, “Diisi dengan apakah waktu yang telah Aku berikan?”
Kedua nama di atas adalah perkampungan di wilayah Kabupaten Pandeglang. Dari ibu kota, waktu tercepat untuk menempuhnya adalah 3 jam. Itu pun kalau di jalan hanya sendirian, dengan kecepatan yang dimaksimalkan. Jika banyak ‘halangan’, tinggal dikali dua saja, disertai do’a sepanjang perjalanan.
Meskipun kampung, penduduk di kedua daerah tersebut telah mengglobal. Setidaknya, Makkah dan Madinah telah dikunjungi oleh Sebagian besar penduduknya. Oleh karena itu, mudah saja jika ingin mengetahui jarak dan kondisinya. Google yang global itupun telah menuliskan keduanya.
Sebagai yang beriman, keluar dari rumah harus disertai dengan izin dan mohon perlindungan. Takut sekali jika yang terlindas ban, atau terinjak sandal, atau terpapar hawa dari badan, mereka-mereka itu menyampaikan tuntutan. Mereka diberi hak karena mereka telah melaksanakan kewajiban, “Bertasbih kepada Pencipta, tidak jeda apalagi diam.”
Demikian juga dengan resiko di perjalanan. Sangat harus jika si pengendara berhati-hati. Tapi ada juga kemungkinan, para pengendara itu tidak sedang konsentrasi. Pribadinya telah waspada dengan diri, tapi musibah itu bisa terpicu oleh terpecahnya pikiran para penduduk di jalanan. Yang pasti, kepada Allah lah meminta perlindungan.
Dengan nama Allah, apapun permulaan, supaya segala kegiatan berakhir dengan pujian. Saat di Kadulogak, penulis menetapkan titik-titik mana saja yang harus dicatat. Setidaknya, setiap pertigaan dan perempatan. Perencanaan adalah point penting di awalan untuk suksesnya suatu kegiatan.
Setelah perjalanan diselesaikan, angka yang direkam oleh HP atas pencatatan tersebut adalah 5823 – 590 – 599 – 621 – 6278 – 665 – 672 – 675 – 679 – 712. Kebetulan saja speedometer motor sedang menunjukkan angka-angka tersebut. Dengan demikian, ada sepuluh titik yang menyambung perjalanan: awalan-tujuan-pulang.
Untuk melihat runutan secara waktu, angka tersebut dituliskan di aplikasi Whatsapp. Saat berangkat di kilometer 58,2/3 waktu menunjukkan pukul 08.14 WIB. Adapun kilomeeter 71,2 berada di pukul 10.30 dalam kurun waktu yang merentang diantaranya adalah 08.14 – 17 – 19 – 23 – 24 – 31 – 36 – 10.10 – 13 – 30.
Bisa jadi angka-angka tersebut tidak penting, tapi keberadaan teknologi telah memudahkan. Kita harus menggunakannya untuk kebaikan. Gawai (gadget) yang hampir dimiliki oleh seluruh Indonesia, harus memudahkan pertanggungjawaban, bukan menyulitkan atau memperbanyak tuntutan.
Dari angka jarak, diketahui bahwa Panjang perjalanan adalah 14 kilometer, dan bisa ditempuh dengan kendaraan antara 45 – 60 menit tergantung kondisi jalan. Jika berkendara atau menumpang dalam mobil, 60 menit adalah waktu membaca satu juz Alquran. Jika menggunakan motor atau berjalan kaki, maka bacaan itu harus berdasar hafalan.
Misalkan berdasarkan pengamatan, perjalanan KRL dari Tanah Abang ke Rangkasbitung itu sekitar 120 menit. Atau relasi Commuterline lainnya, kurang lebih di durasi yang sama. Kalau duduk, pilihan mayoritas adalah memejamkan mata. Kalau berdiri, maka gawai adalah teman penumpang sepanjang perjalanan.
Agak jarang menyaksikan, diantara penumpang yang mengisi waktunya dengan pengajian. Padahal, 2 jam itu adalah waktu yang sangat memadai untuk memadatkan yang masih longgar, menajamkan yang masih tumpul, atau memperdalam kajian atas suatu pengetahuan. Kalau di ruang kelas perkuliahan, itu hampir setara dengan 3 SKS.
Mengaji itu tidak hanya sekadar duduk sambil mendengarkan tausiyah narasumber. Pengajian juga tidak melulu soal mengaji Alquran atau membaca ilmu-ilmu agama. Ada banyak yang melalui buku. Ada juga yang mengambil kesimpulan, “Guru terbaik adalah pengalaman.” Tapi Allah menegaskan, “Kami tidak menciptakan Kesia-siaan.”
Jika klasikal, maka keterdidikan tergantung pada penjiwaan teori dalam praktik keseharian. Jika belajar melalui perjalanan, maka sedikit lagi berkemajuan. Hal itu karena seorang berilmu lebih diunggulkan daripada seseorang yang rajin dalam ibadah. Tapi yang dimaksudkan adalah integrasinya ilmu dalam ‘amalan. Ihya ulumuddin.
Teknologi gawai bisa menjadi asisten. Apalagi bagi seseorang yang rajin merekam perjalanan. Setelah kurun waktu tertentu, video itu bisa memutar Kembali untuk menjadi pengetahuan dan perbaikan. Bahkan, seringkali didapatkan bahwa Pendidikan jalanan lebih berefek daripada bacaan yang tak diimplementasikan.
Oleh karena itu, sangat menentukan status seseorang tentang memanfaatkan waktu dalam perjalanan. Dilihat dari cara mengisi waktu keseharian. Jika hanya diisi dengan tidur, sudah bisa diperkirakan tentang hasil yang didapatkan. Begitu juga jika sepanjang perjalanan diisi dengan ngalor-ngidul obrolan.
Ternyata, dari kesempatan yang setara untuk setiap orang, yaitu 24 jam, sukses dan tidaknya manusia ditetapkan oleh masing-masing pribadi. Apakah waktu di perjalanan itu akan diisi dengan kebermanfaatan, ataukah dilewatkan begitu saja tanpa perhatian. Pilihan untuk mengoptimalkan waktu adalah pembeda dalam perjalanan.
Sungguh, jika diambil pelajaran, beperjalanan merupakan pengajian yang melebar ke cakrawala Tuhan Yang Kuasa. Keluar dari batas-batas pengajian formal, karena ayat Allah itu tidak hanya qauliyah. Justru yang kauniyah perlu pengkajian yang lebih mendalam. Al-Ikhlas itu hanya 4 ayat. Tapi di semesta alam, unlimited.
Sebagian orang sering melontar pernyataan, “Kolot di jalan.” Tapi apakah mendewasakan? Hanya ilmu yang bisa memberikan bantuan. Mereka bisa menarik pengetahuan dari mengantuk Ketika membawa kendaraan. Pengendara sedang diberi banyak ilmu dalam kemacetan atau di lampu perempatan.
Semakin pikiran dipergunakan, semakin takjub dengan Allah Ta’ala. Semakin diterawang pengalaman, semakin dalam pengetahuan dan mudah berterima kasih. Semakin dikaji suatu permasalahan, ternyata manusia dipenuhi oleh keterbatasan. Jika manusia mempertajam logika, Kesehatan dan kewarasan akan terpelihara.
Tentu, banyak juga kejadian malpraktek. Logika dibiarkan menganggur, sehingga pikirannya mandeg, akan sulit menemukan kewarasan. Jiwa tak pernah diasah, sehingga hatinya bebal. Badan sehat pun akan terbawa ambruk apabila jiwanya penuh dengan duri dan onak. Perhatikan saja ucapannya, itulah isiannya.
Oleh karena itu, Allah tidak akan ‘menghapus’ do’a tentang penganiayaan dari Alquran. Manusia, banyak yang memilih jalan kesesatan. Padahal Allah sangat baik dan pengertian. Jika ingin merasakan yang terlarang, silahkan diicip saja, tapi jangan lupa Kembali jalan pulang, sebelum borgol Jahannam mengunci kesadaran.
Dalam shalat, umat Islam selalu mengulang-ulang, “Tunjukkan jalan yang lurus.” Kemudian diperkuat dengan ayat setelah shalat, “Bertebaranlah di muka bumi.” Kemudian perhatikan rupa-rupa kelakuan, “Siapakah yang berkuasa atas manusia-manusia tersebut? Benarkah karena penetapan (taqdir) dari Allah yang menyayangi?”
Kepada maling, apakah Allah yang memerintahkan person itu untuk mengambil milik orang lain? Kepada koruptor, Allah kah yang menyuruhnya menjadi maling? Kepada yang terbaring di rumah sakit, Allah kah yang mengirim ‘terperiksa’ itu untuk menjadi lemah oleh tekanan kekuatannya? Allah hanya bertanya, “Kenapa berpaling?”
Secara qauliyah, Allah memberi peringatan keras kepada manusia kikir dan pelaku kebohongan. Ketika mengkaji ayat tersebut, mudah sekali ditemukan keyakinan atas informasi tersebut melalui pengalaman dan kenyataan. Tidak ada satu pun bos besar menerima kebohongan pegawainya, kecuali memang diperintahkan bohong.
Oh iya, manusia pun sering beda-beda memperlakukan. Orang lain harus lurus dan benar. Sementara dirinya berkelok-kelok semau keinginannya. Terseliplah kepentingan, apakah disengaja, ataukah kepentingan itu berlalu begitu saja. Dalam pelaporan, tidak perlu aneh jika satu kejadian dilaporkan berbeda-beda isinya. Angel, kata mereka.
Oleh karena itu, dakwah terbaik itu bukan dengan ucapan. Padahal, pengajian itu didominasi oleh curahan perkataan. Kenapa Muhammadiyah bertahan lebih dari satu abad, karena Kyai Dahlan memulai pergerakan berkemajuan dengan perbuatan nyata di sekitaran. Alquran telah menuliskan. Tugas manusia membuktikan.
Perintah untuk berhenti merokok itu harus dimulai dari yang memerintahkan. Perintah shalat itu harus diawali dengan bergerak tampak untuk iqomah. Perintah untuk infaq itu harus merogoh kocek terlebih dahulu. Perintah untuk lurus itu harus dengan tampilan instructor yang konsisten di jalan yang istimewa.
Jika frasa perintah terasa tinggi dan menjauhkan, ajaklah dengan perkataan yang lembut. Sebagaimana lembut dan keras dalam perkataan atau perbuatan, dibuatlah perbandingan hasil. Secara pedoman, tidak ada yang sempurna panduannya kecuali Alquran. Kalua buatan manusia, terjadi kontradiksi di sana-sini.
Islam telah paripurna. Tidak satupun yang dicipta Allah untuk sia-sia. Semua yang di dunia, tinggal kemauan untuk mengambilnya saja. “Gemah ripah loh jinawi. Tongkat dan batu jadi tanaman.” Tidak boleh menyebut perkataan, “Mengais-ngais makanan.” Itu hanya terjadi karena malpraktek kemanusiaan. Ramadlan sedang mengingatkan.
Ketika teman jujur, apa respon yang harus diberikan. Kadang pula baru terasa Ketika teman itu telah tiada. Teman yang baik itu biasa-biasa saja. Apabila diperjalankan Bersama orang-orang jahat, barulah terasa nikmatnya Bersama teman baik. Oleh karena itu tidak perlu bersedih dengan dengan saudara yang berbohong. Buah tak jauh dari pohonnya.
Di perjalanan bersifat nasional, berbaur ragam etnis seluruh nusantara. Jawa, Sunda, Batak, Sulawesi, Madura, Betawi, Minang, dan daerah lainnya. Apa manfaat yang bisa diperoleh dari pergaulan di jalan? Setidaknya, kita akan belajar isi dan intonasi. Segala sesuatu yang tampak, belum tentu isinya seperti yang terlihat.
Ketika sendirian pun, perjalanan itu harus dipenuhi dengan makna. Oleh karena sesungguhnya, pertanggungjawaban kita kepada Sang Pencipta dipikul oleh masing-masing kita. Pihak lain hanyalah terpanggil jika dibutuhkan sebagai saksi. Sebagaimana kita akan diminta persaksiannya atas ‘pengabaian’ terhadap sekeliling lingkungan kita.
Jika berburuk sangka, kenapa para pembesar dan penjabat meninggikan rumah, menutup gelap kendaraannya, membatasi lingkung-pergaulannya, memperbanyak ‘hambatan’ untuk menemuinya, hal itu karena ‘takut’ dan ‘pengecut’. Ada pertanggungjawaban social yang harus dipenuhi atas titipan Allah Ta’ala.
Selain atas diri, kita bertanggung jawab untuk menegakkan kebaikan dan mencegah ketidaksesuaian, bahkan merobohkan penghancur kemanusiaan. Pada hakikatnya, manusia itu baik, sopan, tenggang rasa, dan persaudarannya tinggi. Tapi berubah secara berlawanan karena kurangnya keteladanan.
Ketika bertemu sesama, ucapkanlah kata damai dan keselamatan. Tidak lupa pula untuk menampilkan senyuman, supaya pahala terus dikumpulkan. Apapun respon yang menjadi feed–back, itulah ujian keyakinan atas ilmu dan Yang Menguasakan. Berterima kasih atas senyuman, dan tetap bersabar atas kepahitan.
Untuk kita, sebagai muslim, tetap menjadi yang terbaik dalam penyebar kasih sayang Allah. Setidaknya, mari menghargai diri kita sendiri. Selama perjalanan, Alquran meminta untuk diucapkan. Atas ucapan tersebut, sesekali direnungkan oleh pikiran, supaya selama perjalanan terasa damai dengan apapun yang dilewati.
Sebagai mu’min, malaikat akan selalu memberi ilham, “Bergembiralah dengan hadiah yang telah disiapkan.” Ada surga. Kelezatan dunia tidak berarti apa-apa. Bahkan, setan menjadikan itu sebagai tipuan yang memperdaya. Yakinlah akan ketetapan dan keabadian, tidak pada kelabilan dan kesementaraan.
Sebagai muhsin, di kesendirian bermotor dalam perjalanan, pastikan terasa kehadiran-Nya sebagai bagian dari pengawasan dan penjagaan. Allah sulit ditemukan di keramaian. Bukan Allah yang tiada, tapi mata kita yang terhalangi oleh tarikan dunia.
Semua itu akan dirasakan Ketika Alquran dijadikan sebagai panduan. Beribu milyar buku telah dipromosikan, tapi Alquran adalah kesempurnaan. Dekati, dan gauli tanpa keraguan, tidak perlu konfirmasi, karena keyakinan kepada Allah tanpa syarat dan kondisi.
Wallahu a’lam.