Oleh Agus Nurcholis Saleh
Apalah arti hidup ini, jika tidak memahami apa yang ada di dalam diri. Hal itu sebagai bekal mendasar untuk kehidupan yang Bahagia. Setiap waktu, Allah mendorong kita untuk berprestasi, alias menjadi Juara di segala suasana. Hal itu karena pengendalian diri yang sempurna atas hawa yang mendorong. Tentu, kebenaran itu akan selalu di atas kesalahan.
Dalam sebuah perang, untuk menjadi pemenang, penting mengetahui apa saja yang dimiliki dan apa yang musuh inginkan dari kita. Alquran memberitahukan bahwa musuh manusia adalah setan. Ketidaktahuan terhadap musuh adalah kecelakaan. Setan pun membuka lowongan ‘pekerjaan,’ dan banyak manusia menjadi karyawannya.
Kekuatan setan sangatlah luar biasa. Banyak manusia tidak berdaya atas tipu dayanya. Harapan Allah terkalahkan oleh keinginan manusia. Setan lah yang menjadi pemicunya. Sekali dimerdekakan, manusia merasa bebas dalam menghancurkan. Kesempurnaan yang telah ditetapkan Allah menjadi tak bersisa oleh tangan manusia.
Setan adalah musuh secara eksternal. Tapi akan bersemayam secara internal kalau manusia diliputi oleh kebodohan. Allah memberi bekal manusia untuk cerdas. Tapi manusia memilih ditonton dari seberang jalan. Alquran adalah pedoman. Tapi banyak manusia yang menjadikan Hawa (emosi jahat) sebagai Tuhan.
Bertambah repot lah manusia. Musuhnya tidak saja dari pihak luar, tapi bersemayam dalam dirinya sendiri. Allah memberikan Hawa sebagai jodoh atas Taqwa. Kesempurnaan manusia adalah gerak bebas dalam kehidupannya. Hawa adalah dorongan untuk lapang dalam kebaikan, sekaligus juga dorongan untuk merasakan sempit karena tekanan.
Siapakah yang menekan, dan siapa yang merasa tertekan, itulah ujian untuk mendapatkan ‘tropi’ dan kemenangan. Allah memberikan aqal untuk mengendalikan Hawa, karena logika akan selalu mencari yang terbaik dari yang terbaik. Aqal adalah pembeda. Tapi kalau aqal malfungsi, manusia pun tersesat di rimba kegelapan.
Katakanlah Ramadlan. Secara akal, apa manfaat yang akan didapatkan? Jika akal tidak berfungsi, tak ada manusia yang rela ‘kelaparan’ di siang Ramadlan. Jika perut sudah memanggil, terjadilah proses pemasukan untuk menjawab keroncongan. Tapi kenapa ada orang yang 17 jam tidak makan padahal tidak dikenai kewajiban puasa Ramadlan?
Allah memberikan Alquran. Panduan terbaik untuk keselamatan manusia. Di dalamnya tersedia rambu-rambu. Kenapa harus dan kenapa tidak boleh. Tapi kalua aqal tidak berfungsi, Alquran itu tidak beda dengan kelapa di hadapan monyet. Sebagaimana keledai yang memikul beban berat tanpa tahu ada manfaat.
Islam hanya meminta 13 jam saja. Kurang separoh dari durasi hidup hariannya. Sejak subuh sampai maghrib. Ada yang menikmati, tapi banyak manusia tidak tahu, apa yang bisa dinikmati dari puasa? Rasa penasaran itu harus ada. Setelah ada pun, harus ditindaklanjuti dengan pencarian, pembacaan, pemahaman, barulah sadar betapa Allah sangat sayang.
Jauh sebelum menyentuh keyakinan, maka pengetahuan menjadi landasan. Keyakinan tanpa pengetahuan sama dengan pedang tajam yang hanya sekadar pajangan. Akibatnya, mengularnya antrian pertanyaan. Demikian sebaiknya, pengetahuan tanpa keyakinan, laksana pedang tajam di tangan orang jahat dan kerasukan.
Kita tidak perlu berdebat dengan orang bodoh. Cukup dengarkan, perhatikan, dan pergi dengan kebaikan. Jika ada kesempatan, boleh memberikan buah tangan. Apakah ilmu ataukah sedikit rejeki dalam bentuk uang. Jadikan ia sebagai guru kehidupan karena Allah telah mengizinkan manusia bodoh untuk berkelana di alam fana.
Sedalam apakah upaya kita untuk menjadi pencerah dunia, hal itu karena ilmu yang dititipkan kepada kita, karena rejeki yang dipercayakan, juga karena kesempatan yang tersedia dan atas izin-Nya. Apakah membiarkan kebodohan, atau mengupayakan, tergantung respon yang disampaikan oleh pihak yang sedang diujikan kepada kita.
Selagi masih hidup, tidak ada kata tidak, kecuali manusianya yang melakukan kuncian. Surga dan neraka, ditentukan sendiri oleh manusia. Cerdas dan bodoh, itu juga pilihan ‘sadar’ manusia. Oleh karena itu, syarat untuk lurus Kembali adalah kesediaan mengakui, mau berupaya, dan ikrar untuk Kembali pada kesempurnaan penciptaan.
Seringkali perdebatan diwacanakan tentang hidayah dan cahaya. Ada manusia yang keluar dari tekanan, tapi ‘katanya’ terkunci oleh takdir. Padahal, takdir adalah ketetapan yang diambil oleh manusia itu sendiri. Tidak ada yang memaksa seseorang menjadi bodoh, kecuali ia sendiri tidak mau membaca, serta tidak ada waktu untuk mengkaji.
Disebabkan oleh ‘kebodohannya’ juga, lantas manusia mencari ‘kambing biru’. Padahal, kelemahannya itu karena terpelihara sejak lama dalam dirinya. Ketika hidupnya dipimpin oleh kebiasaan, maka perilakunya adalah kebiasaan. Sedangkan ilmu, perilaku manusia itu harus diawali oleh tahu. Setidaknya, pengetahuan tentang tujuan.
Bersyukur kalua kebiasaan itu diawali dan dilandasi oleh ilmu. Tapi kalua biasa itu karena ‘ya dari dulu juga begitu’, maka ilmu tergeser oleh biasa. Apa yang dilakukan secara terus menerus, landasannya kebiasaan, maka menggumpallah menjadi budaya, dan bermuara pada karakter manusia, yang keras sekali jika hendak dicairkan.
Oleh karena itu, manusia harus memahami proses. Allah telah memperlihatkan perjalanan alam di hadapan manusia. Dari siang menuju malam, dan Kembali lagi siang. Dari proses gelap menjadi terang, kemudian gelap Kembali karena perginya cahaya. Siang hari dengan terik panas, kemudian bergerak ke malam yang dingin.
Manusia sendiri bergerak Bersama hitungan usia. Seharusnya, manusia bisa mempelajari perjalanan usianya. Secara fisik, bayi adalah awalan. Kemudian menjadi anak-anak. Sekian tahu bergerak menjadi remaja. Sejalan dengan penambahan usia, dewasa adalah kewajiban. Meskipun (kadang) di perilaku dan ilmu tidak seperti manusia dewasa.
Secara wawasan, Allah telah memberikan segumpal otak di kepala. Tugasnya untuk berpikir dan mengembangkan logika. Ilmu adalah tahu. Berilmu itu serba tahu. Sedangkan menggunakan ilmu adalah mewujudkan yang abstrak supaya konkrit, karena keyakinan itu harus dibuktikan. Artinya, shalat karena iman, dan keamanan disebabkan oleh shalatnya.
Secara perasaan, ilmu psikologi telah berkembang demikian pesat. Berbagai penelitian telah dilakukan. Studi tentang manusia tidak pernah berkesudahan. Semakin dikaji, semakin ‘tidak’ diketahui. Setiap manusia memiliki perbedaan. Setiap manusia harus yakin bahwa dirinya dibekali dengan spesifikasi yang unik sebagai keunggulan.
Ketika Ramadlan dihadirkan, yang diingat itu janganlah kata lapar karena tidak makan dan tidak minum. Justru, dengan terik yang membakar, maka keluarkanlah semua sampah dari tubuh untuk dimusnahkan. Segala yang tidak dibutuhkan, maka jangan disimpan dan membebani pergerakan.
Allah tidak diam. Tapi mengawasi dan memperhatikan. Bahkan, Allah menemani setiap hamba-Nya untuk melindungi dan menguatkan. Allah tidak mengantuk, apalagi tertidur. Justru manusia yang sering lalai dan melupakan kewajibannya. Oleh karena itu, tulislah rencana untuk dikerjakan secara seksama. Semoga tercatat sebagai kebaikan.
Allah telah memberi senjata. Mata, telinga, dan cahaya batin. Ketika gelap gulita, jangan memaksa mata memimpin perjalanan. Sesuai kemampuannya, tugas mata adalah memberi informasi secara visual, sebagaimana tugas telinga yang menginformasikan suara-suara. Inilah saatnya cahaya harus dihadirkan dalam kegaiban.
Allah adalah cahaya di atas cahaya. Manusia harus ikut menumpang dalam cahaya itu. Jika jalan terang, tidak aka nada kecelakaan. Jika semua transparan, tidak ada manusia yang rebutan. Jika ketetapan telah disampaikan, saatnya manusia berjama’ah, saling mengisi posisi, supaya tugas di kehidupan dilaksanakan dengan baik dan tuntas.
Jika seseorang berusia 20 tahun, maka sudah 7.200 kali mengalami pengulangan perbuatan. Berarti, ia tidur malam selama 7.200 kali. Apakah membaca dan berpikirnya juga sebanyak itu? sepertinya tidak ada yang memperhatikan. Betapa banyak sekali soal yang akan diujikan. Semoga pertanggungjawaban akan dimudahkan.
Jika seorang dewasa berusia 40 tahun, maka Ramadlan telah dihadirkan sebanyak 40 kali. Dikurangi dengan pra-baligh, apa manfaat yang didapat atas pengulangan tersebut? Seharusnya jawaban adalah keahlian. Ia ahli Alquran. Ia ahli puasa. Ia ahli dalam menegakkan ma’ruf. Ia juga tidak suka dengan kemunkaran, dan menegakkan haq.
Dalam statistic, ada istilah uji linieritas. Sebelum Allah menghadirkan fase hisab, ayo di dunia, kita hitung terlebih dahulu seberapa banyak profit yang dihasilkan. Jika mengalami kerugian, sungguh manusia telah bankrupt. Lantas, siapa yang bantu memperjalankan manusia jika tikar telah digulung?
Manusia harus memandang jauh ke depan. Sebagaimana dahulu kecil sering ditanya tentang cita-cita. Sebagai hamba yang beriman, cita-citanya harus menembus cakrawala. Sebagaimana do’a yang paripurna, maka sukses dunia harus terbawa sampai surga. Artinya, setiap detik dunia berhasil dipertanggungjawabkan pada Yang Kuasa.
Oleh karena itu, penting sekali untuk memikirkan, “Kemarin kita berada dimana, apa yang dilakukan, apakah mendapatkan bekal untuk berjalan di hari ini?” carilah tahu siapa yang telah melancarkan perjalanan dan memberikan bantuan untuk terjadinya kemudahan. Dibalik keterbatasan, di situlah hadir kelapangan.
Wallahu a’lam
