Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (Anggota PCM Pandeglang)

Pada suatu sore yang cerah, tepatnya tanggal 19 April 1995, seorang lelaki setinggi 5’6″ berjalan ke dua bank di Pittsburgh dan merampoknya di siang bolong. Tanpa mengenakan masker atau mencoba menyamarkan wajahnya, dia hanya berjalan masuk, menodongkan pistol ke teller, merampok, lalu pergi. Seperti yang Anda duga, aksinya terekam dengan jelas oleh kamera keamanan. Polisi yang menerima laporan itu segera menelusuri jejaknya, dan pada tengah malam, mereka tiba di kediamannya untuk menangkapnya. Namun, tanggapan pria tersebut sungguh mengejutkan. “Tapi aku pakai jus,” ujarnya dengan yakin.
Ternyata, pria ini benar-benar percaya bahwa mengoleskan jus lemon ke wajahnya akan membuat wajahnya tak terlihat oleh kamera keamanan. Keyakinannya berasal dari pemahaman keliru bahwa jus lemon, yang dikenal sebagai tinta tidak terlihat, dapat membuat wajahnya tidak tertangkap kamera. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Detektif yang menangani kasus ini menegaskan bahwa pria tersebut tidak mengalami delusi atau berada di bawah pengaruh narkoba. Dia hanya terlalu yakin akan keyakinan kelirunya dan tidak mampu mengenali kesalahan dalam logikanya.

Kisah ini kemudian mendapat perhatian dari Profesor David Dunning, seorang psikolog di Cornell University, pada tahun 1996. Bersama mahasiswanya, Justin Kruger, Dunning melakukan serangkaian eksperimen untuk memahami fenomena seperti ini. Mereka menguji para mahasiswa psikologi dengan kuis di berbagai domain, seperti tata bahasa dan logika. Setelah itu, para mahasiswa diminta menilai performa mereka sendiri. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang memiliki nilai terendah secara keliru memperkirakan bahwa mereka mendapat nilai sangat tinggi. Bahkan, mereka menganggap kemampuan mereka lebih baik daripada 2/3 mahasiswa lainnya yang mengikuti tes. Sebaliknya, mereka yang memperoleh nilai tinggi justru memiliki persepsi yang lebih akurat tentang kemampuan mereka.
Temuan ini membawa Dunning dan Kruger pada kesimpulan penting: orang dengan kompetensi terbatas cenderung menunjukkan bias kognitif yang membuat mereka melebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai efek Dunning-Kruger (Dunning-Kruger Effect), dan hasil penelitian mereka dipublikasikan pada tahun 1999. Efek ini bukanlah penilaian terhadap tingkat kecerdasan seseorang secara keseluruhan, melainkan perbedaan antara kompetensi yang sebenarnya dan yang dipersepsikan dalam suatu bidang tertentu.
Dunning pernah mengatakan, “Tidak mengetahui ruang lingkup ketidaktahuan Anda sendiri adalah bagian dari kondisi manusia.” Kutipan ini menggambarkan inti dari fenomena tersebut, yaitu bahwa sering kali kita dapat melihat ketidaktahuan pada orang lain, tetapi tidak pada diri kita sendiri. Bahkan, Elon Musk pernah mengungkapkan hal serupa, “Anda tidak tahu apa yang Anda tidak tahu,” yang menggambarkan esensi dari efek Dunning-Kruger.
Dampak efek ini mungkin tampak tidak berbahaya dalam banyak situasi. Namun, kasus seperti perampokan bank tadi dan beberapa peristiwa lainnya menunjukkan bahwa efek ini bisa memiliki konsekuensi yang serius. Salah satu contoh mencolok lainnya adalah kasus Elizabeth Holmes dan perusahaannya, Theranos. Holmes, seorang pengusaha muda yang ambisius, bertekad mengubah industri pengujian medis dengan perangkat bernama Edison. Alat ini diklaim mampu melakukan berbagai tes hanya dengan beberapa tetes darah. Meskipun kurangnya pengalaman dan keahlian Holmes dalam bidang tersebut, dia percaya diri bahwa visinya akan berhasil. Namun, keyakinannya yang berlebihan ini mengarah pada keputusan-keputusan buruk, hingga akhirnya menyebabkan keruntuhan perusahaannya dan masalah hukum serius.
Mengapa efek Dunning-Kruger bisa terjadi?
Salah satu penjelasan utamanya adalah kurangnya kemampuan metakognitif, yakni kemampuan untuk memikirkan pikiran sendiri. Metakognisi memungkinkan seseorang menilai seberapa baik mereka mengetahui sesuatu dan mengevaluasi pemahaman mereka. Ketika kemampuan metakognitif ini lemah, orang cenderung kesulitan membedakan antara kemampuan objektif mereka dan persepsi subjektif tentang kemampuan tersebut.
Penting bagi kita untuk mengenali efek Dunning-Kruger dalam diri kita dan orang lain serta meminimalkan dampaknya. Bias ini dapat muncul sebagai rasa percaya diri berlebihan, ketidakmampuan menerima kritik, atau mengabaikan perspektif alternatif. Untuk mengatasi efek ini, kita perlu mengakui keterbatasan kognitif kita dan membangun pola pikir terbuka yang memungkinkan kita berkembang. Berpikir kritis, menerima umpan balik, dan mempertanyakan diri sendiri adalah beberapa cara untuk mengurangi dampak bias ini. Meskipun tidak mungkin mengetahui segalanya, kita bisa belajar untuk memahami bahwa ketidaktahuan itu sendiri adalah bagian dari kehidupan manusia, dan kesadaran ini dapat mencegah kita terjebak dalam “klub Dunning-Kruger”.