Bantenmu.co, Yogyakarta. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan bahwa Idulfitri adalah momentum penting untuk introspeksi diri, baik sebagai individu, umat, maupun pemimpin bangsa. Ia menekankan pentingnya menjadikan bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya sebagai kesempatan untuk terus menumbuhkan ketakwaan, menjalankan peran sebagai hamba Allah (abdullah), dan mengemban amanah sebagai khalifatullah fil ardh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, seluruh elemen masyarakat dapat menghadirkan nilai-nilai ketakwaan yang membawa berkah bagi kehidupan.
Haedar juga menyoroti bahwa ibadah puasa bukan hanya sekadar kewajiban ritual, tetapi memiliki dimensi luas yang mencakup aspek akidah, akhlak, dan interaksi sosial. Ia menegaskan bahwa jika umat Islam benar-benar memahami serta mengamalkan perintah puasa dan ajaran Islam lainnya, maka mereka akan menunjukkan kehanifan dalam beragama. Keberagamaan yang hanif tidak hanya menghasilkan kesalehan pribadi tetapi juga memancar ke dalam keluarga, masyarakat, serta dalam dinamika kehidupan bangsa dan hubungan global.

Menurut Haedar, kesalehan ini menjadi fondasi bagi terciptanya kehidupan yang damai, harmonis, serta toleran terhadap perbedaan. Dari kesalehan tersebut, lahirlah kebijaksanaan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya mengarah pada peradaban yang unggul.
Membangun Jiwa Kepemimpinan yang Berlandaskan Khalifatullah fil Ardh
Haedar menekankan bahwa individu yang memiliki jiwa hanif dan beragama secara tulus akan menumbuhkan sifat khalifatullah fil ardh, yang mengemban tugas untuk memakmurkan bumi, mensejahterakan sesama, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Prinsip ini berlaku dalam interaksi dengan sesama manusia, makhluk hidup lain, serta lingkungan.
Setiap muslim, baik sebagai warga biasa maupun sebagai pemimpin, harus memiliki akhlak mulia yang lahir dari kesalehan. Lebih dari itu, seorang pemimpin harus memiliki jiwa kekhalifahan yang tercermin dalam kebijakan dan tindakannya. Pemimpin yang berjiwa khalifatullah fil ardh akan senantiasa berpegang pada kebenaran, melakukan tindakan yang baik, serta menjauhkan diri dari keburukan dan ketidakadilan.
Dengan kesalehan ini, pemimpin bangsa dan umat diharapkan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, serta mencerdaskan mereka dengan penuh tanggung jawab. Menurut Haedar, inilah esensi dari peran manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu bertanggung jawab untuk menghadirkan kemaslahatan dan menghindari segala bentuk kemudaratan.
Ia juga mengingatkan bahwa berbagai bentuk penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam, serta konflik sosial berakar dari hawa nafsu yang tidak dikendalikan oleh nilai-nilai agama dan kesadaran sebagai hamba Allah serta khalifatullah. Oleh karena itu, jika warga dan pemimpin bangsa memiliki kesadaran sebagai abdullah dan khalifatullah fil ardh, maka tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akan senantiasa berjalan dengan baik, menciptakan kesejahteraan, kemajuan, keadilan, serta berbagai hal positif lainnya.
Selain itu, Haedar menegaskan bahwa dasar negara dan konstitusi juga akan dapat ditegakkan dengan baik jika para pemimpin dan masyarakat memiliki jiwa abdullah dan khalifatullah fil ardh. Sebaliknya, jika nilai-nilai kekhalifahan mulai luntur, maka akan timbul berbagai permasalahan dalam kepemimpinan dan kehidupan bernegara.
Sebagai penutup, Haedar mengajak umat Islam untuk menjadikan Idulfitri sebagai momentum awal dalam menjalankan peran sebagai insan bertakwa yang selalu dekat dengan Allah serta menjalankan amanah sebagai khalifatullah fil ardh. Dengan terus menyebarkan kebaikan, keadilan, kesejahteraan, serta kemakmuran, kehidupan akan menjadi lebih harmonis dan beradab.
“Semoga Idulfitri kita diterima dan diberkahi oleh Allah SWT,” pungkasnya.
I appreciate how this article ties the spiritual momentum of Idulfitri with the ongoing responsibility of national leadership. The reminder that our leaders are khalifatullah fil ardh really elevates the moral expectations we should hold them to.
Tulisan ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati bermula dari kesadaran spiritual. Momentum Idulfitri sangat tepat untuk meneguhkan kembali niat sebagai hamba dan khalifah.
It’s great to see how the values of taqwa are being connected with national leadership in this post. It makes you realize that the spiritual and the worldly are deeply interconnected, and leaders who live by these principles can set an example for the whole nation.
I really appreciate how the article connects personal piety with leadership responsibility. It’s a reminder that leaders should lead with integrity and vision, not only for personal gain but for the collective good of society.
I appreciate how this article connects spiritual values with civic responsibility. The idea of carrying the Ramadan spirit into our roles as khalifatullah is something all layers of society can reflect on.
I appreciate the emphasis on leadership accountability grounded in spiritual values. Our nation could greatly benefit from leaders who genuinely internalize this divine responsibility as khalifatullah fil ardh.