oleh : Dr. Agus Nurcholis Saleh, M.Ud (Sekretaris PDM Pandeglang)

SENANG sekali melihat kehadirannya. Setiap pagi, ia ditunggu. Tidak terlalu istimewa produknya. Ia sendiri yang ditunggu-tunggu. Penikmatnya pun hanya pelanggan setia. Ada layanan plus atas jualannya. Siapapun yang ada, merekalah sahabatnya
Sementara di dekatnya, masih terlihat selemparan mata, mengular antrian menunggu pesanan diterima. Tidak sedikitpun ada rasa cemburu. Semua sudah ada dalam takaran-Nya. Pagi yang cerah untuk dinikmati. Ia hanya seorang tukang bubur.
Setiap pagi, jika berpapasan, betapa nikmat bisa menjalankan salah satu syariat. Ada hak dan kewajiban diantara sesama muslim. Siapa memulai salam, semoga dituliskan Allah sebagai kebaikan karena inisiatif, karena menyemangati, karena telah menghargai.
Biasanya, tidak lebih dari 90 menit mangkal, ia bergegas pulang. Tapi selama perjalanan, tampak sangat menikmati setiap sapaan. Secara finansial, terindikasi kurang dan kekurangan. Tapi secara kebahagiaan, bisa dilihat dalam pancaran senyuman.
Salah satu pelanggan yang dilayaninya, sudah bertahun-tahun ‘tak berdaya’. Setiap hari, ia menghampiri ke rumahnya untuk mengambil wadah. Kemudian Kembali ke gerobaknya untuk menuangkan rejeki dari-Nya.
Secara bisnis, apa yang diharapkan dari waktu dan tenaga yang melebihi income yang didapatkan? Beruntung kalau istri yang sedang sakit itu menghampiri membawa wadah. Tapi yang terjadi, hamper setiap hari, 2 PP untuk semangkuk bubur.
Secara jarak, memang tidak jauh, tapi tidak bisa dikatakan dekat. Tidak fit dengan istilah ‘time is money’. Apabila dilakukan perhitungan atas waktu dan jarak yang di’korban’kan, tak ada keuntungan finansial yang bisa diharapkan. Tidak efisien.
Suatu saat pernah diprovokasi, “Apa tidak cemburu dengan sesama penjual bubur yang ‘sukses’ dan banyak pelanggan?” saya pun dikirimi soal tentang keimanan. Ini bukan soal produk terkait komoditas. Tapi tentang “Rejeki sudah ada Sang Pengatur.”
Ia, sebelum mangkal di tempatnya, terlebih dahulu mendorong gerobak ibunya. Sama-sama penjual bubur. Keluarga pe-bubur. Demikian pula di waktu kepulangan. Ini soal kepercayaan kepada Yang Kuasa. Ini soal tentang tawakkal atas kepercayaan.
Keyakinan harus dipelihara secara sempurna. Kewajiban kita untuk memupuk sehingga ditumbuhkan. Tukang bubur itu tidak sedang berjualan. Ia sedang memuliakan, sedang menikmati perjalanan, dan sedang meresapi rejeki yang diberikan.
Pelaksanaan adalah seni dari pengetahuan. Ketika sudah memetakan dirinya sebagai ‘wayang’ atas Allah sebagai Sang Maha. Tugasnya hanya memelihara pengetahuan untuk tetap sadar dalam penghambaan. Tidak ada yang lebih Bahagia di atas kesadaran.
Pagi yang cerah. Siang yang terik. Sore yang menguning. Malam yang temaram. Demikianlah perjalanan atas kepercayaan. Sayang sekali jika disia-siakan, karena perjalanan ini masih Panjang. Jagalah endurance. Wallahu a’lam.