Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (PCM Pandeglang)

- Pertumbuhan Produktivitas,
- Siklus Utang Jangka Pendek, dan
- Siklus Utang Jangka Panjang
Ketika ketiga roda utama kita pahami, maka kita akan memiliki informasi yang cukup tentang bagaimana “mesin” perekonomian bekerja. Dan apabila terjadi masalah pada mesin tersebut, maka yang pertama kali kita lihat adalah ketiga roda utama tersebut.
Mesin perekonomian dijalankan atas kumpulan jutaan bahkan milyaran transaksi setiap harinya. Sesederhana istri kita membeli tempe di tukang sayur keliling yang lewat di depan rumah kita saja sudah termasuk transaksi. Jangankan yang harus ada usaha jalan ke depan rumah, transaksi di dunia modern bahkan sesederhana menggerakkan jempol di atas layar ponsel pintar. Transaksi inilah unit terkecil dalam perekonomian. Transaksi melibatkan pertukaran uang atau kredit antara pembeli dan penjual untuk barang, jasa, atau aset keuangan.Pengeluaran yang kita lakukan saat membeli suatu barang akan menjadi pendapatan bagi orang lain.Jadi, perekonomian kita pada dasarnya adalah kumpulan dari transaksi yang melibatkan orang, bisnis, bank, atau bahkan pemerintah.
Apa peran pemerintah di dalam mesin ekonomi?
Setidaknya pemerintah memerankan dua peran utamanya yaitu yang pertama adalah mengatur pajak dan pengeluarannya; kemudian yang kedua adalah mengendalikan jumlah uang dan kredit dengan mengatur suku bunga dan mencetak uang baru.
Bank sentral, dalam konteks Indonesia adalah Bank Indonesia,merupakan bagian penting dalam mesin perekonomian karena dapat mempengaruhi aliran kredit. Kredit adalah salah satu aspek terpenting dalam mesin ekonomi modern. Ya… Anda tidak salah baca, kredit!
Ketika kita meminjam uang, kita menciptakan kredit, yang kemudian berubah menjadi utang. Kredit adalah bentuk potensi atau kesempatan untuk menggunakan dana yang disediakan oleh pemberi pinjaman. Sedangkan utang adalah konsekuensi atau hasil nyata dari menggunakan kredit, yang kemudian harus dilunasi atau dikembalikan sesuai dengan syarat perjanjian. Peminjam berjanji untuk membayar kembali utang beserta bunganya, yang membuat utang ini menjadi aset bagi pemberi pinjaman dan kewajiban bagi peminjam. Ketika kita meminjam, kita sebenarnya membawa pengeluaran dari masa depan ke masa sekarang, memungkinkan kita untuk membeli barang atau berinvestasi meskipun kita belum memiliki uang yang cukup.
Namun, kredit adalah pedang bermata dua. Ketika suku bunga rendah, masyarakat terdorong untuk meminjam uang di bank. Sehingga pengeluaran masyarakat meningkat. Peningkatan pengeluaran masyarakat inilah yang menggerakkan ekonomi. Masih ingat kan? Apa yang kita belanjakan menjadi pendapatan bagi orang lain. Ketika pendapatan masyarakat juga meningkat, kemampuan orang untuk membayar utang juga meningkat, sehingga pemberi pinjaman semakin bersedia untuk memberi pinjaman. Siklus ini berlanjut, menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Di sisi lain, produktivitas adalah faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Semakin produktif kita, semakin tinggi pendapatan dan standar hidup kita. Namun, produktivitas tidak banyak berfluktuasi atau naik turun dari waktu ke waktu, sehingga dampaknya tidak begitu besar terhadap siklus ekonomi dibandingkan dengan kredit. Di satu sisi penurunan produktivitas adalah sesuatu yang mudah, sedangkan sebaliknya peningkatannya sangatlah sulit dan sangat pelan.
Ketika kredit tersedia dalam jumlah besar, ekonomi mengalami siklus yang berulang. Siklus jangka pendek bisa berlangsung antara lima hingga delapan tahun, sementara siklus jangka panjang bisa mencapai 75 hingga 100 tahun. Jika kita melihat terlalu dekat, siklus ini mungkin tampak seperti fluktuasi acak. Namun, dengan memahami interaksi ketiga kekuatan utama ini, kita bisa melihat pola dan perubahan ekonomi dari waktu ke waktu.
Mari kita sedikit berkhayal lagi. Coba kita bayangkan bagaimana jika perekonomian kita sama sekali tidak ada kredit. Jadi bagaimana caranya untuk meningkatkan pengeluaran masyarakat? Benar! Satu-satunya cara hanyalah dengan meningkatkan pendapatan masyarakat atau dengan kata lain meningkatkan produktivitas mereka. Dengan skenario dunia tanpa adanya kredit, satu-satunya cara agar ekonomi kita bertumbuh hanya dapat ditempuh dengan bertumbuhnya produktivitas.
Dari tadi disebutkan kata produktivitas… produktivitas… produktivitas… Maksudnya bagaimana?
Akan lebih muda jika kita memberikan contoh kasus untuk memahami tentang produktivitas ini. Contoh sederhana, seorang petani pada tahun 2024 menghasilkan panen padi sebanyak 10 ton. Di tahun 2025, petani tersebut panen sebesar 12 ton maka produktivitas petani tersebut dikatakan meningkat atau bertumbuh. Begitu juga dengan pabrik roti, pabrik tempe, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan sektor jasa? Pertumbuhan produktivitas sektor jasa dihitung dengan semakin banyaknya orang yang mereka layani. Misalkan tukang cukur rambut yang biasanya sehari mencukur 10 kepala kemudian dia bisa mencukur 15 kepala per harinya. Inilah sedikit gambaran dari pertumbuhan produktivitas.
Ekonomi tanpa adanya kredit hanya bisa tumbuh jika kita lebih produktif, dan grafik ekonomi akan mengikuti garis lurus pertumbuhan produktivitas. Namun, dalam perekonomian yang ada kredit di dalamnya, kita mengalami siklus ekonomi. Setiap kali kita meminjam, kita menciptakan siklus di mana pada satu waktu kita bisa mengeluarkan lebih banyak dari yang kita hasilkan, tetapi di waktu berikutnya kita harus mengeluarkan lebih sedikit untuk membayar utang. Inilah mengapa ekonomi bergerak dalam siklus.
Tahukah Anda, apakah ini bisa disebut pil pahit atau kewajaran, bahwa uang yang ada di dunia modern ini bukan dalam bentuk uang kertas atau uang koin yang kita pegang melainkan dalam bentuk kredit. Ya… Anda tidak salah baca! Sebagian besar uang yang ada di dunia modern ini adalah kumpulan catatan-catatan utang yang harus dibayar.
Di Amerika Serikat, misalnya, jumlah total kredit sekitar 50 triliun dolar, sementara uang tunai hanya sekitar tiga triliun dolar. Kredit memungkinkan orang untuk meningkatkan pengeluaran mereka dengan meminjam, bahkan jika mereka belum menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membelanjakan jumlah tersebut.
Dalam ekonomi yang menggunakan kredit, pengeluaran dan pendapatan dapat tumbuh lebih cepat daripada produktivitas jangka pendek, meskipun pertumbuhan ini biasanya tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Jadi apakah kredit itu baik atau buruk? Jawabannya penulis kembalikan kepada masing-masing pembaca. Hanya saja dari sudut pandang ekonomi, jika kredit digunakan untuk hal-hal yang tidak menghasilkan pendapatan, seperti membeli TV, maka ini bisa berbahaya. Namun, jika kredit digunakan untuk investasi yang produktif, seperti membeli traktor yang memungkinkan kita meningkatkan hasil panen, maka kredit tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan meningkatkan standar hidup.
Ketika ekonomi tumbuh, biasanya ada peningkatan aktivitas ekonomi yang menyebabkan ekspansi. Pada saat yang sama, harga-harga mulai naik karena adanya inflasi. Bank sentralyang tidak menginginkan inflasi yang terlalu tinggi, akan menaikkan suku bunga untuk mencegah ekonomi memanas. Istilah “ekonomi memanas” secara sederhananya dapat dipahami sebagai permintaan barang dan jasa di masyarakat jauh melampaui kapasitas produksi atau pasokan yang tersedia. Tentu saja secara wajar dalam kondisi ini harga barang-barang akan naik. Bank sentral menaikkan suku bunga menjadikan kredit menjadi “lebih mahal” dari sisi masyarakat. Hal ini akan menjadikan masyarakat mulai enggan mengajukan kredit yang berdampak pengeluaran mereka akan mereka turunkan. Masyarakat yang biasanya banyak berbelanja menjadi mengurangi belanja mereka. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah “mendinginkan” ekonomin yang “memanas”.
Ekspansi dan kontraksi ekonomi ini menciptakan siklus utang jangka pendek yang biasanya berlangsung antara lima hingga delapan tahun. Ini adalah bagian yang berulang dari ekonomi, seperti roda yang terus berputar. Selama siklus ini, bank sentral memainkan peran utama dalam mengendalikan ekspansi dan kontraksi dengan cara mengatur suku bunga. Setiap siklus ini biasanya berakhir dengan lebih banyak utang, karena pada dasarnya, sifat manusia mendorong orang untuk meminjam dan membelanjakan lebih banyak daripada yang mereka bayarkan kembali. Besar pasak dari pada tiang itu bukan hanya sekedar peribahasa atau hanya “omon-omon” belaka. Dan ironisnya, kredit yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas malahan banyak digunakan untuk keperluan konsumtif.
Pada suatu periode, saat utang meningkat lebih cepat daripada pendapatan, sebuah siklus utang jangka panjang terbentuk. Pada awalnya, pemberi pinjaman dengan leluasa memberikan kredit karena mereka melihat ekonomi berjalan baik—pendapatan meningkat, nilai aset melonjak, dan pasar saham bergemuruh. Orang-orang terdorong membeli barang, jasa, dan aset dengan uang pinjaman. Ketika orang melakukan ini secara besar-besaran, terbentuklah gelembung ekonomi.Sepanjang sejarah, beberapa gelembung ekonomi besar sudah pernah meletus dan menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat serta dampak jangka panjang bagi perekonomian. Apa saja gelembung ekonomi yang pernah meletus itu, tidak akan kami bahas di tulisan kali ini.
Ketika peminjam tidak lagi bisa melunasi utangnya, mereka berhenti meminjam, dan pemberi pinjaman juga enggan memberikan kredit baru. Situasi ini menciptakan siklus negatif, di mana kredit menghilang, pengeluaran berkurang, dan ekonomi pun terpuruk. Inilah saat ekonomi memasuki fase deleveraging.
Di fase deleveraging, orang-orang dan perusahaan mengurangi pengeluaran dan membayar utang mereka. Meski ini diharapkan mengurangi beban utang, nyatanya malah memperburuk kondisi ekonomi. Pengeluaran masyarakat yang menurun menyebabkan jumlah transaksi menurun pesat sehingga menyebabkan penurunan pendapatan yang lebih cepat daripada pelunasan utang, sehingga beban utang justru semakin berat. Masih ingat kan? Pengeluaran seseorang adalah pendapatan bagi orang lain. Proses ini mengarah pada deflasi, yaitu turunnya harga-harga barang dan jasa.
Selama fase ini, banyak peminjam yang tidak dapat melunasi pinjaman mereka, yang menyebabkan mereka gagal bayar atau harus melakukan restrukturisasi utang. Restrukturisasi ini memungkinkan pemberi pinjaman menerima pembayaran dalam jangka waktu lebih lama atau dengan jumlah lebih sedikit daripada yang awalnya disepakati. Meski restrukturisasi utang membantu meringankan beban bagi peminjam, nilai aset pemberi pinjaman pun berkurang.
Di saat yang sama, pendapatan yang menurun membuat pemerintah harus meningkatkan belanja negara untuk menopang perekonomian. Namun, karena pendapatan pajak menurun, pemerintah terpaksa membiayai defisit anggaran dengan pinjaman atau menaikkan pajak, terutama pada orang kaya. Redistribusi kekayaan dari yang kaya ke yang miskin ini menciptakan ketegangan sosial dimana orang-orang kaya pada saat itu juga sedang terbebani dengan utang-utang perusahaannya.
Jika depresi terus berlanjut, ketegangan sosial dapat meningkat, bahkan mengarah pada perubahan politik yang ekstrem. Situasi ini pernah terjadi di tahun 1930-an, saat krisis ekonomi di Amerika Serikat menyebabkan depresi besar, yang berujung pada perubahan politik besar dan peningkatan ketegangan internasional.
Di masa-masa tertentu, utang sering tumbuh lebih cepat daripada pendapatan, menciptakan siklus utang jangka panjang yang semakin sulit terlepas dari naiknya angka penghasilan atau gaji. Ketika utang terus meningkat, pendapatan bisa jadi masih terlihat baik-baik saja, harga aset melonjak, dan pasar saham bergejolak. Ini menciptakan perasaan aman di kalangan masyarakat, sehingga mereka terus mengambil pinjaman untuk membeli barang, jasa, atau aset keuangan lainnya. Pada tahap ini, kita berada dalam fase gelembung ekonomi.
Walau utang meningkat, rasio utang terhadap pendapatan tetap terkendali selama pendapatan masih naik. Situasi ini memungkinkan orang tetap mendapatkan kredit, sebab mereka terlihat layak menerima pinjaman di mata para kreditur. Dengan utang yang terus dipakai untuk membeli aset, harga aset pun terus meningkat. Orang-orang mulai merasa lebih kaya meski dengan utang yang tinggi karena harga aset yang mereka miliki juga naik. Namun, ini adalah situasi yang tak bisa bertahan selamanya.
Pada titik tertentu, utang yang harus dilunasi mulai tumbuh lebih cepat daripada pendapatan, memaksa masyarakat mengurangi pengeluaran mereka. Ini berdampak pada penurunan pendapatan ekonomi secara keseluruhan, yang juga menurunkan daya kelayakan kredit di kalangan masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang tersedia ikut berkurang. Ketika pengeluaran berkurang, pendapatan dan harga aset pun turun, sehingga kredit semakin menipis, menimbulkan lingkaran setan yang akhirnya membawa kita ke puncak siklus utang jangka panjang.
Situasi ini pernah terjadi dalam sejarah, misalnya saat krisis keuangan tahun 2008, atau krisis yang dialami Jepang pada 1989, dan di Amerika Serikat pada 1929. Ketika ekonomi mulai “deleverage“, masyarakat mengurangi belanja, kredit menghilang, harga aset turun, bank tergencet, pasar saham anjlok, dan ketegangan sosial meningkat. Karena penurunan pendapatan dan meningkatnya utang yang harus dibayar, peminjam merasa tertekan dan tidak lagi layak untuk menerima kredit. Akhirnya, orang-orang yang terlilit utang terpaksa menjual aset mereka dalam jumlah besar. Hal ini semakin menekan harga aset di pasar, melemahkan nilai agunan, dan memperburuk situasi perekonomian.
Dalam situasi deleveraging ini, beberapa negara seperti Amerika Serikat berupaya menurunkan suku bunga untuk merangsang pinjaman baru, tetapi upaya ini seringkali tidak berhasil, terutama jika suku bunga sudah sangat rendah atau mendekati nol persen. Inilah yang membedakan deleveraging dari resesi biasa.
Untuk menghadapi krisis ini, ada empat cara yang bisa dilakukan:
- Mengurangi pengeluaran pemerintah dan sektor swasta.
- Mengurangi utang melalui gagal bayar atau restrukturisasi.
- Melakukan redistribusi kekayaan dari yang kaya ke yang miskin.
- Mencetak uang baru oleh bank sentral.
Pada akhirnya, jika pemerintah dan bank sentral mampu menemukan keseimbangan yang tepat antara memotong pengeluaran, mengurangi utang, redistribusi kekayaan, dan pencetakan uang, maka akan tercipta situasi “deleverage yang indah.” Meskipun proses deleveraging mungkin terasa buruk, dengan pengelolaan yang baik, hal ini justru dapat menjadi proses yang memperbaiki kondisi ekonomi.
Dalam jangka panjang, proses deleveraging memakan waktu bertahun-tahun, bahkan hingga satu dekade, untuk mengurangi beban utang sehingga aktivitas ekonomi bisa kembali normal. Dengan memahami siklus utang ini, kita dapat belajar tiga hal penting:
- Jangan menambah utang lebih cepat dari pendapatan.
- Jangan menaikkan pendapatan lebih cepat dari produktivitas, sebab hal itu bisa merusak daya saing.
- Fokuslah pada peningkatan produktivitas, karena itulah yang akan menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
*Tulisan ini merupakan ringkasan dari video How The Economic Machine Works oleh Ray Dalio pada kanal YouTube Principles by Ray Dalio.