Oleh: Anggara Wahyu Adhari, S.ST., M.S.E. (Anggota PCM Pandeglang)

Uang yang dapat kita pegang secara fisik ada dua bentuk: uang kertas dan uang koin. Tapi apakah hanya ini yang disebut uang? Tentu tidak! Nominal yang ada di rekening bank kita juga kita anggap sebagai uang. Nominal yang ada di dompet elektronik kita juga uang. Lalu apa yang sebenarnya disebut dengan uang?
Uang adalah segala bentuk alat tukar (bisa fisik maupun digital) yang diterima secara umum dalam transaksi jual beli barang dan jasa atau dalam pembayaran utang. Uang fisik (kertas dan koin) hanya mencakup sebagian kecil dari total uang dalam suatu perekonomian, hanya sekitar 3 hingga 8 persen. Mayoritas uang dalam perekonomian adalah uang digital atau uang giral yang ada di rekening bank dan dompet elektronik, yang diciptakan melalui sistem perbankan dan transaksi elektronik, bukan dari pencetakan uang fisik.
Biaya pencetakan uang fisik (seperti uang kertas) sangat kecil dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera pada fisik uang tersebut. Ketika pemerintah atau bank sentral mencetak uang, mereka hanya mengeluarkan sebagian kecil dari nilai nominal uang tersebut untuk produksi fisiknya. Sebagai contoh biaya pencetakan 1 lembar Rp100.000 mungkin tidak sampai sebesar Rp10.000. Selisih antara biaya produksi uang tersebut dengan nilai nominal yang tertera pada fisiknya disebut seigniorage, yang merupakan “keuntungan” dari pembuatan uang fisik.
Keuntungan dari pencetakan uang fisik ini adalah termasuk pendapatan bagi pemerintah. Secara teori, hal ini dapat mengurangi kebutuhan pemerintah untuk mengumpulkan pajak dari masyarakat. Namun pada kenyataannya, pemerintah tidak bisa terus-menerus mencetak uang fisik tanpa batas karena akan menimbulkan inflasi. Inflasi terjadi ketika jumlah uang yang beredar terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Ketika uang beredar secara berlebihan, nilai uang tersebut akan menurun, yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa di pasar. Hal ini bisa merusak stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.
Jika pemerintah atau sebut saja politisi yang sedang menjabat memiliki kekuasaan untuk mencetak uang secara bebas, akan muncul risiko besar berupa konflik kepentingan. Para politisi ini mungkin tergoda untuk mencetak uang guna mendanai proyek, memenuhi janji politik, atau bahkan membiayai perang. Namun, mencetak uang tanpa batas seperti ini akan mengakibatkan hiperinflasi, yaitu kondisi di mana harga-harga barang dan jasa naik secara drastis, sehingga nilai mata uang menurun dengan sangat cepat. Dalam kondisi ekstrem, uang bisa kehilangan nilainya hampir sepenuhnya, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus hiperinflasi di negara-negara tertentu.
Sebagai contoh di negara-negara yang mengalami hiperinflasi, seperti Argentina, Zimbabwe, dan Venezuela, nilai mata uangnya menurun begitu cepat sehingga uang tersebut menjadi hampir tidak berharga. Ketika inflasi sangat tinggi, harga barang dan jasa naik begitu cepat sehingga daya beli uang terus berkurang dalam waktu singkat. Ini menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada mata uang negara mereka karena uang yang mereka miliki tidak lagi mampu membeli kebutuhan sehari-hari. Di Venezuela, sebagai contoh, inflasi yang ekstrem membuat uang tunai menjadi sangat tidak bernilai, sampai-sampai orang-orang mulai menggunakan uang kertas untuk hal-hal lain, seperti membuat kerajinan, tas, atau bahkan sebagai hiasan.

Gambar 1 Warga Venezuela Berjualan Kerajinan yang Terbuat dari Uang Kertas Negaranya
Uang berfungsi seperti “alat pengukur nilai” yang menentukan harga barang dan jasa. Namun, alat pengukur ini pada zaman ini bisa sangat elastis, artinya nilainya dapat berubah-ubah tergantung pada jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam sejarah, emas pernah berfungsi sebagai alat ukur yang stabil karena jumlahnya terbatas dan sulit untuk diproduksi, sehingga menjaga agar jumlah uang beredar tetap terkendali. Hal ini memberikan stabilitas pada sistem keuangan.
Namun, pada tahun 1971, Presiden Richard Nixon memutuskan untuk menghentikan standar dolar AS terhadap emas. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Nixon Shock (Kejutan Nixon). Peristiwa ini mengakhiri sistem standar emas di Amerika Serikat. Sistem standar emas adalah sistem mata uang yang didukung oleh cadangan emas yang dimiliki suatu negara. Sejak saat itu, uang tidak lagi terikat pada cadangan emas atau aset fisik lain yang memiliki nilai tetap. Ini berarti bahwa nilai mata uang seperti dolar menjadi lebih “elastis” atau fleksibel, karena nilainya kini hanya didukung oleh kepercayaan pada pemerintah. Kondisi ini menjadi semakin dilematis dan dramatis karena sebagian mata uang negara lain mengukur nilainya berdasarkan dengan acuan dolar AS.
Sistem keuangan modern, sebagian besar uang yang beredar diciptakan oleh bank swasta melalui sistem “uang berbasis utang”. Ketika kita mendengar istilah “uang berbasis utang” ini berarti bahwa sebagian besar uang dalam perekonomian muncul dari pinjaman atau kredit yang dikeluarkan oleh bank. Sekitar 97 persen dari total uang di negara maju adalah uang digital yang dibuat oleh bank swasta melalui proses ini, menjadikan sebagian besar uang di dunia sebagai “uang privat” atau uang yang dikelola oleh sektor swasta, bukan langsung oleh pemerintah.
Proses ini terjadi karena bank diberi izin oleh pemerintah untuk menciptakan uang lebih dari jumlah simpanan sebenarnya. Awalnya, bank-bank diperbolehkan oleh pemerintah untuk melakukan hal ini. Namun, setelah banyak bank mengalami kebangkrutan akibat “bank run” (yaitu ketika banyak nasabah mencoba menarik uang mereka sekaligus, bank tidak dapat memenuhi semua penarikan ini karena mereka tidak memiliki cukup uang tunai untuk menutupi simpanan) maka diberlakukan undang-undang di Inggris pada tahun 1704 memberikan dasar bagi sistem ini, dengan mengizinkan surat utang (promissory notes), atau janji tertulis untuk membayar kembali utang, beredar sebagai pengganti uang tunai.
Surat ini berfungsi seperti uang karena orang menerima surat tersebut sama seperti memiliki nilai uang yang sama dengan jumlah yang dijanjikan di dalamnya. Di era modern, konsep ini telah berkembang menjadi uang digital, di mana bank dapat menciptakan uang baru saat memberikan pinjaman. Ketika seseorang mengambil pinjaman dari bank, uang digital baru “diciptakan” dan orang tersebut berjanji akan membayar kembali jumlah tersebut dengan bunga. Uang digital ini biasanya diserahkan dalam bentuk nominal tertentu yang ditransferkan ke dalam rekening si peminjam.
Peristiwa inilah yang menjelaskan bagaimana uang “baru” tercipta. Bukan dengan hasil cetakan pabrik, tetapi berbentuk catatan utang. Uang “baru” ini tercipta melalui proses akuntansi tanpa harus melalui proses pencetakan fisik uang. Tanpa adanya suntikan dana dari pihak manapun, bank “dengan ajaibnya” seketika itu juga dapat menciptakan uang baru di dunia ini. Misalnya, jika Anda meminjam Rp500.000.000 untuk membeli rumah, bank tidak perlu memiliki jumlah uang tunai sebesar itu di rekening mereka; mereka cukup “mengetik” jumlah tersebut ke dalam sistem, sehingga muncul sebagai saldo digital di rekening Anda. Pada saat yang sama, Anda memiliki utang sebesar Rp500.000.000 kepada bank, tentu saja beserta bunga pinjamannya.
Uang ini kemudian beredar di perekonomian karena orang yang Anda bayar (seperti penjual rumah) dapat menggunakannya untuk transaksi lain. Jadi, uang yang masuk ke perekonomian berasal dari pinjaman Anda dan orang-orang seperti Anda lainnya. Dalam sistem ini, jika perekonomian ingin tumbuh, lebih banyak uang harus terus diciptakan, yang berarti harus lebih banyak utang harus dibuat. Inilah “sihir” terkuat yang dimiliki sistem perekonomian modern.
Bank mendapatkan keuntungan besar dari sistem penciptaan uang digital ini, karena mereka membebankan bunga atas pinjaman yang mereka berikan. Ketika bank memberikan pinjaman, mereka menciptakan uang baru dalam bentuk digital, dan mereka akan mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayar oleh peminjam. Setelah pinjaman dilunasi, utang tersebut “hilang” dan uang yang dibuat sebelumnya juga hilang (sudah dipakai oleh si peminjam), tetapi keuntungan bank tetap ada dalam bentuk bunga yang telah dibayar oleh peminjam.
Pasar real estate dan properti menjadi salah satu cara utama bagi bank untuk menciptakan uang digital, karena properti dianggap sebagai investasi yang aman dan menguntungkan bagi bank. Jika peminjam tidak dapat membayar pinjaman mereka, bank dapat menyita properti (seperti rumah) sebagai jaminan. Hal ini membuat bank merasa lebih aman dalam memberikan pinjaman. Di negara-negara maju, seperti Australia, banyak uang yang beredar di masyarakat dalam bentuk pasar hipotek (pinjaman rumah).
Selama beberapa dekade, bank-bank telah semakin fokus pada investasi di sektor properti daripada berinvestasi di sektor ekonomi lainnya, karena pasar perumahan dianggap lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan harga rumah naik karena orang-orang mengambil lebih banyak utang untuk membeli rumah, bahkan jika mereka sebenarnya tidak mampu membayar. Bank mendapatkan lebih banyak uang dari bunga pinjaman ini, sementara harga properti terus meningkat. Krisis 2008 di Amerika Serikat kurang lebih juga karena siklus ini. Siklus ini, yang berlangsung selama bertahun-tahun, telah menyebabkan terjadinya “gelembung properti”, yaitu situasi di mana harga properti menjadi sangat tinggi dan tidak realistis, yang dapat menyebabkan krisis keuangan jika harga properti tiba-tiba jatuh atau orang tidak dapat membayar utang mereka.
Ketergantungan masyarakat kepada utang sangatlah menguntungkan bagi bisnis perbankan. Dalam sistem perbankan, ketika Anda sebagai nasabah menyetorkan uang pada bank untuk ditabung ke dalam rekening Anda, maka bank akan menggunakan uang Anda untuk dipinjamkan kepada orang lain. Misalkan Anda menabungkan uang Anda sebesar Rp1.000.000, maka yang akan disimpan oleh bank sebesar Rp100.000 saja. Kemana uang Anda sebesar Rp900.000 sisanya? Uang ini dipergunakan oleh bank sebagai pinjaman untuk nasabah lainnya. Proses ini terjadi berulang kali sebanyak nasabah bank tersebut. Proses ini dikenal dengan sebutan “pinjaman cadangan friksional”.
Dulu Federal Reserve (bank sentral milik AS) menetapkan bank wajib menyimpan 10% dari tabungan nasabah sebagai cadangan minimal dan sisanya boleh diputar dalam bentuk utang. Namun sejak 26 Maret 2020, Federal Reserve menghilangkan persyaratan cadangan minimal, yang berarti bank sekarang dapat menciptakan uang dalam jumlah tak terbatas tanpa perlu menyimpan cadangan apapun. Hal ini memberikan lebih banyak kebebasan bagi bank untuk menghasilkan uang melalui pinjaman tanpa batasan jumlah yang harus mereka simpan.
Apakah 90% uang kita semua yang tersimpan di bank hanya digunakan bank untuk menciptakan utang saja?
Jawabannya, tentu tidak! Bank tidak hanya menyimpan uang dalam bentuk pinjaman atau utang, tetapi mereka juga dapat mengambil risiko lebih besar dengan menginvestasikan uang yang mereka terima dalam instrumen keuangan yang lebih berisiko, seperti derivatif dan sekuritas, untuk mendapatkan keuntungan lebih tinggi. Dengan cara ini, mereka dapat menghasilkan lebih banyak uang, meskipun dengan potensi risiko yang lebih besar. Bank swasta dan lembaga keuangan lainnya terlibat dalam aktivitas yang sangat berisiko, seperti menggunakan instrumen keuangan yang dikenal sebagai derivatif untuk bertaruh pada fluktuasi harga aset.
Ketika masyarakat dan perusahaan mengandalkan utang untuk membeli barang-barang yang biasanya tidak mereka mampu beli, lambat laun hal ini menciptakan “gelembung ekonomi”. Ketika masyarakat mulai tidak dapat membayar utang tersebut, bank mulai berhenti memberikan pinjaman, menyebabkan krisis dan kemerosotan ekonomi. Gelembung tersebut pernah meletus pada krisis 2008 di Amerika Serikat. Pada akhirnya, pemerintah AS harus turun tangan dengan memberikan dana talangan (bailout) untuk menyelamatkan sistem perbankan dari kehancuran.
Proses penciptaan uang oleh bank swasta melalui pinjaman sangatlah mudah—seperti mengetikkan angka di komputer. Bank dapat menggunakan simpanan konsumen untuk membelanjakan dan bertaruh (baca: berjudi), karena mereka dilindungi oleh bank sentral. Hal ini menciptakan bahaya moral, di mana bank dapat mengambil risiko yang lebih besar karena mereka tahu mereka “di atas angin” kalau pun jatuh selalu ada penolong. Inilah yang mengarah pada penciptaan uang digital bank sentral, atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE).
QE adalah kebijakan yang pertama kali diperkenalkan oleh Bank Sentral Jepang pada 1989 dan dipopulerkan oleh Federal Reserve (AS) pada tahun 2008, di tengah krisis finansial global. Dalam QE, bank sentral menciptakan uang dan menggunakannya untuk membeli aset, seperti obligasi pemerintah, untuk mendukung sektor perbankan dan ekonomi. Kebijakan ini bertujuan untuk mengalirkan uang ke dalam perekonomian dalam situasi krisis. Meskipun hal ini dapat membantu sementara, keberlanjutan dari kebijakan ini sangat dipertanyakan karena bank sentral mengandalkan pencetakan uang digital, yang sebenarnya meningkatkan jumlah uang yang beredar.
Pada 2008, ketika ekonomi global hampir runtuh, pemerintah AS terpaksa mengeluarkan dana talangan (bailout) sebesar 700 miliar dolar AS untuk menyelamatkan sektor keuangan. Namun, untuk melakukan ini, pemerintah harus menaikkan batas utang negara, yang mengakibatkan peningkatan utang nasional yang sangat besar. Sejak saat itu, utang AS terus meningkat, dan bank sentral terus mencetak uang untuk mempertahankan sistem.
Dengan demikian, bank sentral tidak bisa bangkrut. Mereka dapat mencetak uang lebih banyak untuk membeli obligasi pemerintah atau korporasi, dan ini tidak hanya berisiko bagi pasar tetapi juga bagi perekonomian secara keseluruhan. Jika situasi ini terus berlangsung, kita akan menghadapi konsekuensi dari sistem yang rapuh, termasuk inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lambat, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “stagflasi”. Fenomena stagflasi secara sederhana juga dapat diartikan bahwa uang beredar di sektor moneter dan sedikit yang menyentuh sektor riil. Stagflasi adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi lambat (stagnan) yang artinya produksi barang dan jasa menurun, tetapi diiringi oleh inflasi yang tinggi. Peristiwa ini pernah terjadi di tahun 1970-an hampir di seluruh belahan dunia.
Jika kita melihat ke depan, perubahan besar mungkin akan datang, dan sebagai individu, kita perlu berpikir bijak tentang bagaimana melindungi aset kita. Saya tidak memberikan nasihat keuangan, tetapi mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan mengalihkan sebagian uang Anda ke dalam aset yang tidak berbasis utang sebagai bentuk perlindungan. Menabung emas bisa menjadi pilihan yang baik karena tidak ada bank sentral yang dapat mencetaknya. Bank of America dan Goldman Sachs Group, bahkan bank-bank sentral di negara seperti Tiongkok dan Rusia, telah membeli emas dalam jumlah yang sangat besar selama bertahun-tahun, menunjukkan mereka memahami apa yang akan terjadi ke depannya.
Namun, apapun keputusan Anda, yang terpenting adalah untuk berpikir sendiri dan melakukan riset untuk menemukan apa yang terbaik dalam mengelola uang Anda. Sistem moneter global saat ini sudah sangat terintegrasi dan tak terlihat, hingga banyak orang tidak lagi mempertanyakannya. Ketika masalah mulai muncul ke permukaan, mereka yang lebih peduli akan melihatnya sebagai akibat dari kombinasi utang yang berbasis utang, bahaya moral, finansialisasi ekstrim, dan efek Cantillon* yang merajalela. Semua ini menciptakan kesenjangan kekayaan yang semakin lebar dan kerapuhan ekonomi yang semakin besar.
*Efek Cantillon menjelaskan bahwa penciptaan uang baru dalam perekonomian tidak tersebar merata, sehingga mereka yang menerima uang lebih awal mendapat manfaat lebih besar. Akibatnya, ketidakmerataan pendapatan dan inflasi harga terjadi, tergantung pada urutan penerima uang baru. Nama ini diambil dari ekonom Irlandia, Richard Cantillon, yang pertama kali mengemukakan konsep ini pada abad ke-18.
Wah…keren. Terima kasih informasinya