Pandeglang, 14-12-2024. Bertempat di Masjid Hasanuddin diselenggarakan pengajian bulanan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pandeglang. Pengajian bulanan kali ini diisi oleh KH. Abdul Wahid Al-Faqier, M.Ag yang merupakan Pimpinan Pondok Pesantren Riyadhussalam Mandalawangi sekaligus pengurus Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Kabupaten Pandeglang.
Kiyai Wahid mengupas materi mengenai Agama dan Akidah-kaidahnya yang diambil dari Kitab Al-Hidayah Fi Masaaila Fiqhiyah Muta’aaridhah karya Syaikh Zakaria Ahmad Karha. Dalam pembahasan tersebut terdapat sebelas kaidah dalam Agama Islam.
Islam sebagai Jalan Hidup yang Diterima di Sisi Allah
Islam adalah agama yang diterima di sisi Allah, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 19 dan 85. Inti ajarannya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dengan keikhlasan, ketaatan, dan ketundukan kepada perintah-Nya. Perspektif ulama besar seperti Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Fakhruddin Ar-Razi memperkaya pemahaman tentang keistimewaan Islam sebagai satu-satunya jalan menuju keridhaan dan keselamatan dari Allah.
Imam Ath-Thabari menekankan Islam sebagai hakikat penghambaan yang bersifat universal dan final. Keikhlasan menjadi pilar utama, karena amal tanpa keikhlasan tidak diterima di sisi Allah. Hal ini selaras dengan pandangan Imam Ibnu Katsir yang melihat Islam sebagai kesinambungan risalah tauhid para nabi, dengan puncaknya adalah syariat Nabi Muhammad SAW sebagai tuntunan hidup bagi seluruh umat manusia dan jin. Penolakan terhadap syariat ini berarti tersesat dan kehilangan arah hidup.
Lebih lanjut, Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa setiap amal di luar Islam akan ditolak, meskipun dianggap sebagai bentuk pendekatan kepada Allah. Islam adalah satu-satunya jalan yang memberikan manfaat sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka yang mengikuti selain Islam akan mengalami kerugian mutlak yang tidak dapat diperbaiki.
Islam bukan sekadar nama agama, tetapi esensi sikap tunduk total kepada Allah yang harus dijalani sesuai dengan syariat Nabi Muhammad SAW. Dengan memahami hakikat ini, umat manusia diingatkan untuk selalu kembali kepada Islam sebagai jalan keselamatan yang hakiki, demi meraih kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.
“Ad-Dien” sebagai Sistem Kehidupan Ilahi untuk Kemaslahatan Manusia
Agama (Ad-Dien) adalah sistem hidup yang ditetapkan oleh Allah melalui kitab suci-Nya, Al-Quran, dan sunnah Nabi-Nya yang shahih. Sebagai aturan ilahi, agama bukan sekadar tradisi atau kebiasaan manusia, melainkan panduan universal yang mengatur kehidupan dengan sempurna untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Agama mencakup perintah yang mendorong perbuatan baik, larangan yang melindungi manusia dari kehancuran, dan petunjuk yang menuntun pada jalan yang lurus. Al-Quran menjadi sumber utama ajarannya, sementara sunnah Nabi adalah penjelasan nyata yang menyempurnakan penerapan wahyu dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan utama agama adalah menyempurnakan kehidupan manusia, baik secara material maupun spiritual. Ia mengajarkan harmoni dalam hubungan dengan Allah, sesama, dan alam semesta, menciptakan masyarakat yang adil, penuh kasih, dan seimbang. Selain itu, agama menawarkan keselamatan yang komprehensif—kesuksesan duniawi yang terarah dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Dengan menjadikan agama sebagai pedoman, manusia diarahkan menuju kebahagiaan hakiki yang melampaui kehidupan dunia, membangun kedamaian batin, dan mencapai kesucian hati. Agama adalah anugerah ilahi yang memberikan arah hidup dan memastikan perjalanan manusia selalu berada di jalan yang diridhai Allah.
Kesempurnaan Islam sebagai Pedoman Hidup Hakiki
Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah Swt, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 3. Kesempurnaan ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, sosial, maupun hukum, tanpa perlu tambahan atau pengurangan. Wahyu ini menandai berakhirnya risalah Nabi Muhammad SAW dan mengukuhkan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap hingga akhir zaman.
Imam Ibn Katsir menegaskan bahwa nikmat Islam telah mencukupi kebutuhan manusia, memberikan petunjuk yang jelas untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah juga menyatakan ridha-Nya terhadap Islam sebagai agama yang dipilih bagi umat manusia, menegaskan bahwa tidak ada jalan hidup lain yang diterima di sisi-Nya.
Imam Malik bin Anas mengingatkan bahaya inovasi dalam agama, yang berarti memperkenalkan sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW. Menganggap hal baru itu baik sama saja dengan meragukan kesempurnaan wahyu Allah. Prinsipnya, apa yang tidak ada pada masa Nabi tetap bukan bagian dari agama meskipun muncul di kemudian hari.
Rasulullah SAW melalui hadisnya menjelaskan bahwa beliau telah menyampaikan segala hal yang mendekatkan umat kepada Allah dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Ajaran yang beliau sampaikan adalah petunjuk sempurna yang tidak memerlukan tambahan apa pun untuk mencapai ridha Allah.
Islam adalah agama yang sempurna, tanpa celah untuk inovasi atau rekayasa. Menambah atau mengurangi ajaran Islam bukan hanya menyalahi prinsip agama, tetapi juga mencerminkan keraguan terhadap kesempurnaan risalah Nabi. Segala cara untuk mendekatkan diri kepada Allah telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, menjadikan Islam pedoman yang cukup untuk keselamatan dunia dan akhirat. Dengan mematuhi ajarannya, umat Islam dapat meraih kebahagiaan hakiki dan keridhaan Allah yang abadi.
Keseimbangan Urusan Dunia dan Agama dalam Islam
Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas r.a. memberikan panduan bijaksana tentang pemisahan kewenangan antara urusan dunia dan agama. Dalam urusan dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menggunakan akal, pengalaman, dan inovasi sesuai kebutuhan hidup. Namun, dalam urusan agama, umat wajib merujuk kepada wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai sumber kebenaran yang mutlak.
- Hak Mengelola Dunia:
Rasulullah SAW menegaskan bahwa umat Islam memiliki kompetensi untuk menentukan keputusan dalam urusan duniawi. Hal ini membuka ruang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
- Ketundukan pada Wahyu dalam Agama:
Dalam urusan agama, umat Islam harus sepenuhnya mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ini menegaskan pentingnya kesucian sumber ajaran, di mana petunjuk Rasulullah SAW menjadi acuan dalam menjalani kehidupan yang sesuai syariat.
- Otoritas Rasulullah SAW dalam Agama:
Rasulullah SAW adalah satu-satunya otoritas dalam hal agama, di mana segala ketetapan syariat bersumber dari wahyu yang disampaikan beliau. Hal ini menjaga kemurnian ajaran Islam dari penyelewengan.
- Penekanan pada Sumber Ibadah yang Benar:
Hadis ini juga memperingatkan agar dalam ibadah, umat Islam tidak terjebak pada pengaruh luar seperti pendapat individu, tradisi, atau kelompok tertentu. Segala bentuk ibadah harus mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah, bukan pada:
- Guru atau Pemimpin Agama, yang hanya bertugas sebagai pembimbing.
- Madzhab, yang meskipun penting, tetap harus merujuk kepada dalil-dalil syar’i.
- Lokasi atau Tempat Suci, yang tidak menentukan keabsahan ibadah.
- Organisasi atau Kelompok, yang tidak boleh menjadi tolok ukur kebenaran.
- Akal atau Perasaan, yang seringkali terbatas tanpa bimbingan wahyu.
- Adat atau Tradisi, yang harus ditinggalkan jika bertentangan dengan syariat.
Islam menawarkan panduan yang harmonis antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dalam urusan dunia, manusia diberi kebebasan berkreasi, sementara urusan agama harus tetap berlandaskan wahyu ilahi. Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, umat Islam dapat menjaga kemurnian ibadah dan menjalani kehidupan yang seimbang, penuh makna, dan sesuai dengan ridha Allah SWT.
Makna dan Prinsip Ibadah dalam Islam
Definisi Ibadah
Ibadah dalam Islam adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT melalui pelaksanaan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan beramal sesuai dengan tuntunan syariat. Pendapat para ulama menggambarkan ibadah sebagai:
- Kepatuhan kepada Allah melalui pelaksanaan ajaran para Rasul.
- Manifestasi cinta dan keridhaan Allah melalui ucapan dan perbuatan, baik yang nyata maupun tersembunyi.
Prinsip Utama dalam Ibadah
Pelaksanaan ibadah dalam Islam berlandaskan dua aspek utama:
- Niat (Ikhlas): Segala ibadah harus diniatkan hanya untuk Allah SWT.
- Kaifiyat (Tata Cara): Cara pelaksanaan ibadah harus mengikuti contoh yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Kombinasi niat dan tata cara yang benar adalah syarat sahnya ibadah. Sebaliknya, ibadah yang niatnya salah atau tata caranya tidak sesuai sunnah dianggap tidak sah.
Prinsip Dasar dalam Ibadah dan Kehidupan Duniawi
- Hukum Asal dalam Ibadah:
Dalam ibadah, prinsipnya adalah larangan sampai ada dalil yang memerintahkan. Segala bentuk ibadah harus memiliki landasan dari Al-Qur’an atau Sunnah. Tanpa dalil yang jelas, suatu amalan tidak dapat dianggap sebagai ibadah.
- Hukum Asal dalam Kehidupan Duniawi:
Berbeda dengan ibadah, hukum asal dalam urusan duniawi adalah kebolehan, kecuali ada dalil yang melarang. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi umat Islam untuk berinovasi dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Ibadah dan Akal
Urusan ibadah tidak selalu dapat dijelaskan oleh logika manusia. Contoh: jumlah rakaat dalam shalat ditentukan oleh wahyu, bukan pemikiran. Sebaliknya, dalam adat atau kebiasaan, akal dapat memahami sebab-sebabnya, seperti makan atau minum untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Agama Tidak Berbasis Akal Semata
Sebagaimana dinyatakan oleh Ali r.a., agama Islam tidak bertitik tolak dari akal manusia. Contoh seperti mengusap bagian atas sepatu dalam wudhu menunjukkan bahwa ajaran Islam bersumber pada wahyu, bukan pada logika manusia. Dengan demikian, umat Islam wajib menerima dan mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.
Ibadah adalah inti dari pengabdian manusia kepada Allah SWT yang harus dilakukan dengan niat yang ikhlas dan cara yang benar sesuai tuntunan syariat. Prinsip ini menjaga kemurnian ajaran Islam, di mana logika manusia tunduk pada wahyu ilahi, sehingga menciptakan keseimbangan antara kepatuhan spiritual dan kebijaksanaan duniawi.